TAKHRIJ HADITS dan MODELNYA
Oleh: Sahrawi Saimima
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Keterpercayaan soal Hadits merupakan persoalan kontroversi dikalangan para sarjana studi-studi
Islam, tidak hanya antara Islam dengan non-Islam tetapi juga antara sesama
sarjana kalangan umat Islam sendiri. Hal ini dikarenakan posisi Hadits, dibukukan
setelah bebrapa periode setelah islam datang dan berkembang secara pesat. Oleh karenanya sangat dibutuhkan toleransi
internal dan ekseternal dalam memahami
konteks Hadits tersebut dengan sebaik mungkin.
Perbedaan yang mencolok antara para sarjanawan Muslim dengan
non-Muslim dalam mempelajari Hadits, adalah sajarawan
muslim lebih didorong oleh peran sentral yang dimainkan oleh Hadits sebagai
sumber hukum dan doktrin teologis, sementara para sarjana barat mempelajari Hadits pada dasarnya didorong oleh kepentingan sejarah.
Tulisan ini akan membahas tentang Tkharij Hadits dan Modelnya
dengan komposisi pembahasannya meliputi, menjelaskan takhrij hadits dan
penjelannya, bagaimana cara dalam men-takhrij sebuah hadits, serta model-model
takhrij hadits, Penjelasan masing-masing
akan di bahas pada bagian pembahasannya.
2.
Rumusan Pembahasan
a.
Takhrij hadis
dan penjelasannya?
b.
Bagaimana cara
melakukan takhrij hadis dengan langkah-langkahnya?
c.
Seperti apakah
model-model takhrij?
3.
Tujuan
Penulisan
a.
Menjelaskan
pengertian takhrij hadis.
b.
Menjelaskan cara
men-takhrij hadis dengan langkah-langkahnya.
c.
Menjabarkan
model-model takhrij.
B. Pembahasan
1.
Takhrij Hadits
dan Penjelasannya
Secara bahasa Takhrij berasal dari kata (خرج) yang berarti tampak atau jelas, sedangkan secara terminology
takhrij menurut para ahli Hadits berarti bagaimana seseorang menyebutkan dalam
kitab karangannya suatu hadits dengan sanadnya sendiri. Menurut pendapat lain
takhrij dalam kalimat berarti mengembalikan suatu Hadits kepada ulama yang
menyebutkannya dalam suatu kitab dengan memberikan penjelasan kriteria-kriteria
hukumnya. (takhrij bukan saja untuk Hadits).
Adapun dalam mengtakhrij suatu Hadits, memiliki tujuan untuk
menunjukan sumber-sumber-sumber Hadits dengan menerangkan ditolak atau diterima suatu Hadits
tersebut. Artinya adalah dalam upaya melakukan takhrij seseorang harus
betul-betul jeli terhadap Hadits yang diketahuinya hingga sumber pertama dari
orang yang menyampaikan Hadits tersebut.
Pada awal perkembangannya, Takhrij Hadits tidak dibutuhkan oleh
para ulama, hal ini dikarenakan pengetahuan para ulama saat itu mengenai Hadits
sangat lengkap dan baik. Akses para ulama terhadap sumber Hadits juga sangat
kuat. Dengan kemamupuan yang mereka miliki, mereka dengan mudah dapat
menggunakan dan mencari sumber aslinya dalam rangka men-Takhrij Hadits.
Para ulama merasa perlu dilakukannya Takhrij Hadits ketika telah
berjalan beberapa periode. Ketika pada saat itu ada sebagaian para ulama yang
menyampaikan suatu perkara yang disandarkan kepada Hadits, tidak disertakan
dengan sumber aslinya. Dengan melihat keadaan ini para ulama berspakat untuk
melakukan Takhrij kepada Hadits-hadits pada saat itu dan muncullah berbagai
kitab Takhrij Hadits seperti Al-Kahathib al-bagdhadi (w.463), dan Kitab Takhrij
yang palaing terkenal adalah Takhrij al-fawa’id al-muntkhabah al-shihah wa
al-ghara’ib karya Kasim Abi al-Qasim al-Husaini, Takhrij al-fawa’id
al-Muntakhabah al-shihah wa al-ghara’ib karaya Abi Qasim al-Muhammad Ibnu
Muasa al-Hazimi al-Syafi’i.
2.
Cara melakukan Takhrij Hadits dengan langkah-langkahnya
Imam
Al-Sakhawi dalam Abu Muhammad Abdul Mahdi, mengatakan para Ahli Takhrij tidak berbuat
sendiri-sendiri terhadap Hadits-haditsnya. Kebanyakan mereka berbuat menurut
kitab induk hadits-hadist tersebut dan begitu pula dengan sanad-sanadnya.
Setelah menyelesaikan suatu hadits mereka berterus terang menisbatkannya
kepada, katakanlah Imam Bukhari atau Imam Muslim atau kepada keduanya.
Sekalipun terdapat perbedaan lafal dengan beliau berdua.
Berikut
ini adalah salah satu contoh Takhrij Hadits yang dalam hal ini adalah takhrij
hadis Nabi saw. Tentang keharusan memulai ibadah puasa dan mengakhirinya dengan
melihat hilal.
عَنٌ مَالكِ عَن نا فع و عبد الله بن د ينا ر عن بن عمر أن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه وسلم قا ل : لا تصو موا
حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن
عليكم فاقدرواقدرله
Terjemahan: Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari Ibn
Umar, bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, “janganlah kamu berpuasa (puasa
ramadhan) sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’idul
fitri) sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu,
maka tentukanlah ukurannya (bilangannya).
Secara sistematis, langkah-langkah yang dilakukan dalam men-takhrij Hadits diatas adalah sebagai berikut:
a.
Takhrij Al-Hadits
Hadits di atas, yang membicarakan tentang keharusan
melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan diriwayatkan
oleh malik dari dua orang guru-nya, yaitu Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn
Dinar, dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar. Ketika ditelusuri lafal Hadits
tersebut berdasarkan awal kosa katanya dengan menggunakan kitab Mu’jam Jami’ al-Ushul fi Alhadaits al-rasul, ditemukan
lima riwayat Hadits, tetapi dengan melakukan takhrij al-hadits bi
al-lafadz dengan mempergunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-fadh
al-hadits al-nabawi, dengan menelusri kosakata sawana, ditemukan
enam riwayat Hadits, yautu dengan tambahan riwayat Ahmad atas kelima
riwayat yang terdapat pada Jami’ al-ushul, keenam riwayat tersebut
terdapat pada:
1) Kitab Al-Muwatha’ Imam Malik, halaman 177: hadis nomor 633,
634.
2) Kitab Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 62-63: hadis nomor.
16-17.
3) Kitab Shahih Muslim, juz 3, halaman 133: hadis nomor 3
4) Kitab Shahih Muslim, juz 6, halaman 435-436: hadis nomor
2302.
5) Kitab Sunan al-Nas’i, juz 6, halaman 108: hadis nomor 2.
6) Kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz 2, halaman 337:
hadis nomor 5294.
Untuk kepentingan I’tibar, sebagai langkah berikutnya akan
dikutipkan matan dan sanad yang di Takhrij oleh Malik, Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Al-Nasa’I, dan Ahmad ibn Hanbal sebagai berikut:
1)
Pada kitab Muwatha’
Malik terdapat dua riwayat
a)
Riwayat yang
datang dari Nafi’ adalah
عن مالك عن نا فع و عبد الله بن د ينا ر عن بن عمر أن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه وسلم قا ل : لا تصو موا
حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن
عليكم فاقدرواقدرله
b)
Riwayat yang
datang dari Abd Allah ibn Dinar, berbunyi:
عن مالك عن نا فع و عبد الله بن د ينا ر عن بن عمر أن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه وسلم قا ل : الشهر تسع وعشرون
فلا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا
تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
2)
Dalam Shahih al-Bukhari, matan dan sanad-nya adalah
sebagai berikut:
حد ثنا عبد الله بن مسلمه عن عن ما لك نا فع و عبد الله ا بن عمر ر ضي الله عنهما أن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليهوسلم ذ كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا
حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
حد ثنا عبد الله بن مسلمه عن عن ما لك نا فع و عن عبد الله ا بن د ينا ر عن عبد الله ا بن عمر ر ضي الله عنهما أن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليهوسلم ذ كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا
حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
3)
Dalam Shahih Muslim, matan dan sanadnya sebgai
berikut:
حد ثنا يحي بن يحي قا ل : قر أ ت على نا
فع عن بن عمر عنهما
عن النبي صلى ا لله عليهوسلم ذ كر رمضا
ن فقا ل: لا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم
فاقدرواقدرله
4) Dalam Sunan Abu Dawud, matan dan sanad-nya
adalah:
حد ثنا سليما ن بن داودالعتكيّ ا خبر نا حمّا دُ ا خبر نا ايّوب عن نا فع عن بن عمر قال: قال ر سو ل ا لله صلى ا لله
عليه وسلم : أ شهر تسع و عشرو ن فلا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا
تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله ثلا ثين
5) Dalam Sunan Nas’i,
matan dan sanad-nya adalah:
أخبر نا محمّد ابن سلمة ولحا رث بن مسكين قرأة عليه و أنا أسمع واللّفظ له , عن مالك عن نا
فع عن بن عمر
أن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليهوسلم ذ
كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم
فاقدرواقدرله
6)
Dalam Musnad Imam Ahmad, matan dan sanadnya adalah:
حد ثنا عبدالله . حدثنى أبي , حد ثنا عبدالرّحمن حد ثنا ما لك نا فع عن بن عمر
عنهما عن النبي صلى ا لله عليهوسلم ذ
كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم
فاقدرواقدرله
Apabila
diperhatikan redaksi dari matan Hadits-hadits yang dikutip diatas,
terdapat perbedaan antara hadis yang
satu dengan yang lain. Pada riwayat Malik yang berasal dari Nafi’ terdapat kata
dzakara ramadhan, sebelum perkataan Rasulullah saw. La tashumu, sedangkan
pada riwayatnya yang lain yang berasal dari Abd Allah Ibn Dinar, tidak terdapat
kata-kata tersebut, tetapi terdapat tambahan kata syahritsun wa isyrun, pada
riwayat Bukhari sebagaimana berasal dari jalur Abd Allah ibn Dinar menggunakan
kata fa akhmilu al-iddat tsalasin, sebagaimana juga pada riwayat Abu
daud didapati kata tsalatsin. Perbedaan redaksi diatas menunjukan adanya
periwayatan secara makna, yaitu meskipun redaksinya berbeda, tetapi mempunyai
makna yang sama dan bahkan saling mempertegas antara satu dengan yang
lain.
b.
Al-i’tibar
Dari
enam riwayat Hadits tentang melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah
puasa Ramadhan tersebut, selanjutnya di i’tibar dengan cara mengkombinasikan sanad yang satu dan yang
lainnya, sehingga terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad Hadits yang
diteliti, demikian juga dengan seluruh perawinya dengan metode periwayatannya.
Dengan melakukan i’tibar tersebut dapat diketahui apakah dalam Hadits tersebut
ada unsur mutabi’ atau syahid pada hadis tersebut atau tidak.
c. Terjemah al-ruwat dan naqd al-sanad
Cakupan
bahasan pada sub ini dicukupkan hanya pada sanad Malik, yaitu Hadits yang datang
dari Abd Allah ibn Umar melalui Nafi’ dan Abd Allah Ibnu Dinar. Karena itu
uaraian tentang al-ruwat akan terbatas pada Abd Allah ibn Umar, Nafi’
Abd Allah Ibnu Dinar, dan malik sendiri sebagai perawi terakhir, sampai pada
ibn Umar sebgai perawi pertama.
1)
Malik Ibnu Anas
Nama lengkapnya adalah Malik ibn Anas ibn
Malik ibn Abi Amr ibn Al-Harits ibn Utsman ibn Jutsail ibn Amr ibn Al-Harits.
Malik berguru dan menerima hadis dari banyak ulama, yang diperkirakan mencapai
jumlah 900 orang. Diantara para gurunya adalah Amr ibn Abd Allah ibn al-Zubair
ibn al-Awwan, Naim ibn Abd Allah al-majmar, Zaid ibn Aslam, Nafi’ maula ibn
Umar, Abd Allah ibn Dinar, dll.
Mengenai
pribadi Malik, para kritikus hadis berpendapat sebagai berikut:
a) Muhammad ibn Ishaq berkata, “Ketika Muhammad ibn Ismail
Al-Bukhari ditanya tentang Ashahh al-Asanid, Al-Bukhari mengatakan, Ashah
al-Asanid adalah Malik dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar”.
b) Ali ibn al-Madini berkata, dari sumber Ibn Uyainah, Malik
adalah orang yang paling teliti, dan kritis terhadap para perawi hadis serta
sangat mengetahui tentang keadaan mereka.
c) Berkata Ali, “saya tidak mengetahui bahwa malik
meninggalkan beberapa perawi, kecuali mereka yang memiliki sesuatu yang cacat
pada riwayat mereka.
d)
Abd Allah ibn Ahmad mengatakan, “aku bertanya kepada
ayahku, siapakah yang paling terpercaya diantara sahabat Azzuhri? Ayahku
menjawab, Malik! Dia adalah yang paling terpercaya dalam segala hal.
e) Ibn Sa’ad berkata, saya adalah orang yang paling ingat
dengan waktu meninggalnya Malik, yaitu pada bulan Safar tahun 179 H, dan Malik
adalah salah seorang yang tsaqit, terpercaya, wara’, faqih, alim, dan
Hujjah.
Dari
komentar para kritikus tersebut, dapat disimpulkan bahwa Malik adalah seorang
yang terpercaya dan pernyataannya bahwa dirinya telah menerima riwayat Hadits
dari Nafi’ dan Abd Allah Ibn Dinar hal ini dikarenakan sanadnya bersambung.
2)
Nafi’
Nama lengkapnya adalah Nafi’ Abu ‘Abd Allah
al-Madani, dan dialah Mawla ibn Umar. Dia meninggal dunia pada 177 H. Nafi’
berguru dan menerima Hadist dari sejumlah Ulama, diantaranya Abd Allah Ibn Umar
sebagai maulanya Abu Hurairah, Abu Lubabah ibn Abd al-Mundzir, Abu Sa’id
al-Khudri, A’isyah, dan lainnya. Pernyataan kritikus tentang diri Nafi’
diantaranya:
a) Ibn Sa’ad mengatakan, Nafi’ adalah seorang yang tsiqat
dan banyak meriwayatkan Hadits. Al-Bukhari mengatakan Al-asanid adalah dari
Malik dari Nafi’ dari ibn Umar.
b)
Berkata Bsyr ibn Amr dari Malik, “apabila aku mendengar
sebuah Hadits dari Nafi’ dan ibn Umar maka aku tidak perlu mendengarnya dari
yang lainnya”.
c) Al-Ajali Madani, ibn Kharasy, dan Al-Nas’i mengatakan
bahwa Nafi’ adalah seorang yang tsiqat.
Dapat disimpulkan melalui para kritikus
mengatakan perihal dengan Nafi’ adalah seorang yang tsiqat, bagian dari ashah
al-asanid (yaitu Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar) dengan demikian pernyataan
Nafi’ telah menerima riwayat hadis dari Abd Allah ibn Umar dapat dipercaya dan
karenanya sanadnya bersambung.
3)
Abd Allah ibn Dinar
Nama
lengkapnya adalah Abd Allah ibn Dinar Al-Adawai Abu ‘Abd al-Rahman al-Madani
Mawla Ibn Umar. Ibn Dinar meninggal pada tahun 127 H. Pernyataan para kritukus tentang dirinya adalah:
a) Salih ibn Ahmad
berkata: berdasarkan sumber dari Ayahnya, bahwa Abd Allah ibn Dinar adalah
seorang yang tsiqat lagi benar hadisnya.
b) Ibn Ma’in, Abu Zarah, Abu Hatim, Muhammad ibn Sa’ad, dan
Nasa’I, berpendapat bahwa ibn Dinar adalah Tsiqat
c) Al-Ajali
mengatakan bahwa ibn Dinar adalah seoran yang tsiqat.
d) Ibn Hibban
mengelompokan ibn Dinar kedalam golongan orang-orang yang tsiqat.
Berdasarkan pernyataan para kritikus Hadits
diatas dapat disimpulkan bahwa Abd Allah Ibn Dinar adalah seorang yang tsiqat
dan hadisnya dapat dipercaya. Justru itu
pernytaannya bahwa dirinya telah menerima riwayat dari Ibn Umar adalah dapat
dipercaya, dan karenya dapat pula dikatakan bahwa sanadnya tersambung.
4)
Abd Allah Ibn
Umar
Nama lengkapnya Abd Allah ibn Umar ibn
al-khattab ibn Nufail al-Quraisyi al-Adawi Abu Abd al-Rahman al-Maki. Dia lahir
tidak lama setelah Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul. Berdasarkan sumber
dari Al-Zubair, bahwa ketika itu ibn Umar berusia 10 tahun dan beliau meninggal
pada tahun 73 H. penrnyataan para kritikus mengenai dirinya adalah:
a) Hafsah berkata,
saya mendengar Rsulullah saw. Bersabda, sesungguhnya Abd Allah Ibn Umar adalah
seorang yang saleh.
b) Zuhri berkata,
“Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kecerdasannya
c) Ibn Zabar
menerangkan, “dia (ibn Umar) adalah seorang yang paling tsabit.
Para kritikus
telah memberikan penilaian yang baik kepada ibn Umar, bahkan Rasulullah
mengatakan Ibn Umar adalah seorang yang Saleh. Oleh karena itu kita dapat
mempercayai pernyataan yang menyatakan beliau menerima riwayat Hadits dari
Raslullah. Dengan demikian sanadnya bersambung.
d.
Natijah (hukm
al-hadits)
Uraian mengenai
sanad Hadits tentang ketentuan memulai dan mengakhiri puasa dengan melihat
bulan, yang di takhrij oleh Malik di atas, menghasilkan beberapa catatan
sebagai berikut:
1) Dari segi
kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para perawinya terlihat bahwa
seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis terseut adalah tsiqat.
2) Dari
segi hokum periwayatan, maka seluruh sanad hadis tersebut adalah
bersambung.
3) Dari segi mata rantai sanad , maka rantai
periwayatan Malik, Nafi’, dan Ibn Umar, dinyatakan sebagai ashah al-asanid. (rangkaian sanad paling tinggi)
4) Dari segi
lambang-lambang periwayatan, hadis diatas tergolong yang diperselisihkan
tentang kebersambungan sanadnya oleh para ulama hadis.
5) Sanad Malik ibn
Anas juga didapati pada sanad Al-Bukhari dan Muslim, yang keduanya telah diakui
oleh para ulama hadis sebagai dua kitab shahih.
Dengan catatan tersebut
dapat disimpulkan bahwa, sanad hadits yang di takhrij oleh Malik diatas,
hukumnya adalah shahih lidzatani.
e.
Syarh (fiqh)
al-hadits
Kewajiban ibadah
puasa Ramadhan adalah merupakan salah satu rukun Islam yang lima, dan
Al-Qur’an, pada QS Al-Baqrah: 183, secara tegas telah menyatakan kewajiban
tersebut, sebagaimana kewajiban yang sama telah ditetapkan Allah kepada umat
sebelumnya. Untuk memulai pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, Al-Qur’an telah
menetapkan adanya kesaksian tentang telah datangya bulan Ramadhan, sebagaimana
dalam Q.S Al-Baqrah: 185.
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ..........
Rasulullah saw, dalam kepastiannya sebagai penjelasan yang lebih
rinci mengenai tata cara pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, yang diantaranya
adalah tentang keharuasan melihat hilal bulan Ramadhan untuk memulai ibadah
puasa, sebagaimana tersebut diriwayatkan oleh Malik diatas.
3.
Model-model Takhrij
Hadits
M. Syuhudi Ismail dalam Zainul
Arifin, mengemukakan bahwa model takhrij hadits ada dua macam, yakni takhrij
alhadits bi al-lafzi dan takhrij al-hadits bi al-mawdu’. Berikut
ini dijelaskan sepintas tentang dua macam model takhrij al-hadits yang
dimaksud:
1) Model takhrij alhadits bi al-lafzi
Untuk penelusuran hadits
lewat metode ini cukup mengambil sebagian lafaz dari matan hadits yang akan
diteliti baik dalam bentuk fi’il maupun isim, kemudian mencari
lafaz tersebut pada kamus hadits yang menjadi rujukan metode ini
Kitab-kitab yang diperlukan untuk metode takhrij ini, selain
diperlukan kitab kamus hadits, juga diperlukan kitab-kitab yang menjadi rujukan
dari kamus itu. Kamus hadits yang dimaksud adalah al-Mujam al-Mufahras.
Penyusunan hadits dalam kitab ini disusun mulai dari al-af’al al-mujaradah berdasarkan
huruf al-mu’jam, kemudian ismu al-fa’il, ismu al-maf’ul dan
se terusnya.
Selanjutnya, setelah lafaz-lafaz itu, ada petunjuk bahwa lafaz
tersebut tetdapat dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan kamus ini lengkap
dengan petunjuk kitab, juz dan bab, bahkan halamannya pada hadits yang
dimaksud. Sedangkan kitab-kitab hadits yang menjadi rujukannya adalah Kutub
al-Tis'ah.
Kelebihan pada metode ini antara lain, a) Dapat cepat mendapatkan
hasil takhrij, b) Dalam kitab Mu'jam al-Mufahras menyebutkan
hadits-hadits dimaksud lengkap dengan petunjuk nama kitab, bab, halaman, dan
juznya, memudahkan dalam pencarian hadits; dan c) Dengan satu lafaz saja dari
matan hadits yang dibutuhkan bisa dengan mudah mengetahui letak hadits yang
dimaksud.
Kekurangannya adalah kitab Mujam al-Mufahras yang menjadi
rujukan metode ini hanya terbatas pada Kutub al-Tis'ah, sehingga jika
hadits yang diteliti tidak ada dalam Kutub al-Tis’ah, maka akan gagal
dalam mentakhrij hadits yang dimaksud, sehingga perlu dengan metode lain. Contoh
takhrij hadits, misalnya hadits dari Anas bin Malik:
“La yu’minu ahadukum hatta yuhibbu li akhihi ma yuhibbu li nafsihi”
Kalimat yang diambil misalnya (yuhibbu) lafal
tersebut dikembalikan ke fi’il al-madi mujarrad yaitu بح,
yaitu ح dan ب , ternyata lafal tersebut ada di Mujam al-Mufabras juz pertama halaman 405. Dan matan
hadits tersebut ditemukan di halaman 407, tertulis dalam halaman tersebut bahwa hadits dimaksud terdapat dibeberapa kitab, antan lain:
a)
Sahih Muslim,
Kitab al-Iman, No hadits 71,
72.
b)
Sahih
al-Bukhari, Kitab al-Iman, No. Hadits 7
c)
Sunan
al-Tirmidzi, Kitab al-Qiyamah, No.
Hadits 59.
d)
Sunan Nasa’i,
Kitab al-Imam, No. Hadits 19.
e)
Sunan Ibn
Majah, Muqadimah, No. hadits 9.
f)
Sunan
al-Darimi, Kitab Isti’dhan, No.
hadits 5.
g)
Musnad Ahmad
bin Hambal, Juz 1 hal. 89;
Juz 3 hal. 176, 206, 251.
2) Model takhrij al-hadits bi al-mawdu’
Model ini berdasarkan topik permasalahan, misalnya hadits yang akan diteliti hadits
tentang kawin mut’ah. Untuk menelusurinya diperlukan bantuan
kamus hadits yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai riwayat
tentang topik tersebut. Kitab-kitab yang diperlukan urrtuk metode ini adalah kamus Miftah Kunuz
al Sunnah karya A.J. Wensink dan 14 kitab lainnya dan yang menjadi rujukan
kamus tersebut adalah kutub al-Tis’ah ditambah lagi dengan kitab Musnad
Zaid bin ‘Ali, Musnad Abu Daud al Toyalisi, Tobaqat ibnu Sa'ad,
Sirah ibnu Hisyam dan Magazi al Waqidi.
Kelebihan dalam metode ini adalah jika
peneliti tahu topik permasalahan dalam haditsnya maka bisa langsung membuka
pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan model ini pada bab topik tersebut.
Sedangkan kekurangannya adalah jika peneliti kurang faham atau masih samar akan
permasalahan dalam haditsnya maka akan menemukan kesulitan dalam mentakhrijnya.
Contoh takhrij hadits melalui metode ini, misalnya hadits dari Abu
Hurairah:
“Man
sarrah an yubsath lahu rizquhu, au yunsa alahu fi atsarihi falyashil rahimahu”.
Hadits tersebut topiknya adalah (al-Arham), terdapat dalam
beberapa kitab; 1) Sahih al-Bukhari, kitab no. 78, bab no. 12; 2) Sahih Muslim, kitab no. 45
hadits no.16-22; 3) Sunan
al-Tirmidhi, kitab no.25, bab no.9 dan 49; dan 4) Musnad Ahmad
bin Hanbal, juz2 hal.189, 484. Juz 3 ha1.156,
229, 247.
Dengan melihat tata cara pentakhijan Hadits
seperti tadi, kalau untuk zaman sekarang yang serba modern, dalam men-takhrij Hadits lebih praktis lagi jika menggunakan perangkat komputer melalui
bantuan program Maktabab al Shamilah, Kutub al-Tis'ah atau
lainnya yang didalamnya mencakup seluruh kitab-kitab hadits dan ilmunya, hal
mendasar yang harus diketahui oleh seseorang adalah menguasai Hadits-hadits yang
tipelajari olehnya.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
a) Takhrij berasal dari kata (خرج)
yang berarti tampak atau jelas, sedangkan secara terminology takhrij menurut
para ahli Hadits berarti bagaimana seseorang menyebutkan dalam kitab
karangannya suatu Hadits dengan sanadnya sendiri. Menurut pendapat lain takhrij dalam kalimat berarti mengembalikan
suatu hadits kepada ulama yang menyebutkannya dalam suatu kitab dengan
memberikan penjelasan kriteria-kriteria hukumnya.
b) Langkah dalam melakukan takrij itu meliputi: Takhrij Hadits,
Al-I’tibar, al-ruwat dan naqd al-sanad, Natijah
(Hukum Al-Hadits), Syarh.
c) Model-model dalam melakukan dalam melakukan takhrij hadits terbagi
ke dalam dua model yakni model takhrij takhrij alhadits bi al-lafzi dan
takhrij alhadits bi al-maudu’.
Daftar Rujukan
Abdul
Mahdi. Abu Muhammad, Metode Takhrij Hadis, cet, I; Semarang; PT Dina
Utama Semarang, 1994.
Amin.
Kamarudin, Menguji Kembali Kekauratan, Metode kriktik Hadis, Cet, I;
Jakarta: PT Mizan Publika, 2009.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: CV Penerbit Jumanatul
‘Ali-Art, 2005.
Jurnal Online Metodologi Tarjih Muhammadiyah, Edisi 1, No. 1, 2012
(PSIF-UMM), dirujuk pada, 5 April, 2015.
Sahrani. Sohari, Ulumul Hadis, cet, I; Bogor: PT Ghalia
Indonesia, 2010.
Syuhudi Ismail, M. Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007.