Selasa, 01 Desember 2015

Islam Tipologi Pluralisme di Indonesia

ISLAM TIPOLOGI PLURALISME Di INDONESIA

By M. Sahrawi Saimima

A.  PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Islam tipologi pluralisme di Indonesia adalah sebuah paham yang menyakini adanya keberadaan agama lain dengan memiliki kebenaran masing-masing. Indonesia sebagai Negara yang memayungi lima agama didalamnya Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu dengan Islam sebagai mayoritas. Tentu, memberikan peran signifikan dalam membijaki setiap persoalan-persoalan keagamaan.  
Muqsith Gazali dalam Dmocracy Project, mengemukakan; ulama dalam Islam terbagi atas tiga golongan; golongan pertama adalah golongan eksklusif, golongan ini menganggap bahwa hanya golongannya atau agamanya sajalah yang benar sementara golongan yang lain yang tidak sepaham dengan mereka adalah salah atau sesat. Sandaran golongan ini pada teks Al-Qur’an “Innaddina Indallah hil Islam”. sementara dalam kristen Yesus berkata: “Akulah jalan dan kebenaran hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”. (Yohanes 14:6). Golongan ke-dua adalah golongan inklusif, golongan ini menganggap semua Agama itu benar, sementara golongan ke-tiga adalah golongan plural, golongan ini menganggap bahwa satu golongan dengan golongan lain tidak dapat mencapuri urusan golongan lain. Artinya, satu golongan memiliki kebenaran masing-masing dalam bentuk penghambaan diri mereka kepada Tuhan.
Senada dengan pernyataan diatas Rowan Williams, juga mengemukakan In the context of theology and religious studies, religious pluralism is often treated under the three headings of exclusivist, inclusivist, and pluralist. The exclusivists believe that only their faith is true and all others are false, whereas the inclusivists believe that their faith is true and others are included within it in some sense. The pluralists believe on the other hand that all faiths are true and show different paths to the same Truth. (Dalam konteks teologi dan studi agama, pluralisme agama sering diperlakukan di bawah tiga tema yakni eksklusif, inklusif, dan pluralis. eksklusif percaya bahwa hanya iman mereka benar dan semua orang lain palsu, sedangkan inklusivis percaya bahwa iman mereka benar dan orang lain termasuk di dalamnya. Pluralis percaya di sisi lain bahwa semua agama adalah benar dan menunjukkan jalan yang berbeda untuk yang sama)”. Tulisan ini, secara umum dan mendetil akan membahas tentang Islam Tipologi Pluralisme di Indonesia dengan cakupan bahasan meliputi; Pluralisme dan penjelasnnya, Pertemuan Islam dengan Pluralisme, Tokoh-tokoh Pluralisme Islam Indonesia.  
2.    Rumusan pembasan
a.       Pluralisme dan penjelasnnya.
b.      Pertemuan Islam dengan Pluralisme.
c.       Tokoh-tokoh Pluralisme Islam Indonesia
3.    Tujuan pembahasan
a.    Penjelasan Pluralisme.
b.    Menguraikan Pertemuan Islam dengan Pluralisme.
c.    Membicarakan siapa saja tokoh-tokoh Pluralisme Islam Indonesia.

B.  Pembahasan
1.      Pluralisme Agama dan penjelasnnya
Pluralisme Agama seakan tiada habisnya menjaidi trending topik dalam kehidupan beragama sehari-hari, dari berbagai golongan yang menganggap penganut paham Pluralis tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama mereka.  Ali Ihsan Yitik, menjabarkan dalam journal of religion cultur bahwa, The problem of pluralism emerges not at socio-cultural level, but at the religious sphere. For instance it comes out as a problem when we talk about salvation. Long before the emergence of the problem of pluralism as a philosophical matter, Muslims had discussed this topic for centuries not only for Jews and Christians but also for anybody who had heard nothing about God and his messages.  (Masalah pluralisme muncul tidak pada tingkat sosial-budaya saja, tetapi pada lingkup agama. Misalnya itu keluar sebagai masalah ketika kita berbicara tentang keselamatan. Jauh sebelum munculnya masalah pluralisme sebagai masalah filosofis, Muslim telah membahas topik ini selama berabad-abad tidak hanya untuk orang-orang Yahudi dan Kristen tetapi juga bagi siapa saja yang telah mendengar apa-apa tentang Allah dan pesan-pesannya)”.
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap kemajemukan terjadi dalam suatu masyarakat tertentu atau di dunia secara keseluruhan. Artinya lebih dari sekadar toleransi moral atau keberadaan bersama (koeksistensi) yang pasif. Toleransi adalah soal perasaan dan perilaku individual, sementara koeksistensi semata-mata merupakan penerimaan terhadap pihak lain, sekadar dalam batas tidak terjadinya konflik. Fazlur Rahman menuturkan, “human life is a moral struggle endlesslyso, jika dia mengabaikan perjuangan ini sesaat saja, dia dapat terperangkap oleh seytan.
Untuk memahami pluralisme Agama, hal yang pertama adalah memahami makna pluralisme. Pluralisme adalah paham yang meyakini realitas terdiri dari banyak substansi. Penyematan kata pluralisme dengan agama menjadikan kedua kata tersebut, antara Pluralisme dengan Agama menjadi satu makna yakni menyakini keberadaan semua Agama dalam kehidupan ini tanpa mengingkari satu diantara ke semuanya.
Secara garis besar pengertian pluralisme agama dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pluralisme agama tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan tersebut. Melainkan, pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai dimana-mana. Seperti di sekolah, tempat kerja dan tempat kita berbelanja. Tetapi seseorang baru dapat  dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebinekaan.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada realita kehidupan  ragam agama, ras, bangsa, hidup berdampingan di suatu lokasi, semisalnya di new york. Kota ini di diami oleh orang-orang Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha bahkan orang-orang tanpa beragama. Namun interaksi penduduk ini misalnya di bidang agama sangatlah minim.
Ketiga, pluralisme tidak dapat di sama artikan dengan relativisme. Seorang relativs akan berpandangan bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir sesorang atau masyarakatnya. Sebagai contoh, kepercayaan atau kebenaran yang diyakini. Keempat, pluralisme agama bukanlah Sinkritisme, yakni sinkritisme menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.
Dengan demikian kita perlu untuk mengahragai keberadaan agama lain demi tercipta kesahjetraan umat bersama. Bukan malah sebaliknya menimbulkan sikap black and white artinya sikap mengkafirkan antara satu golongan yang tidak sesuai dengan golanganya. Qurais Shihab, dalam pidato pluncuran buku Putih mazhab Sunni Syi’ah. Beliau mengatakan, kita perlu memahami diri kita sebelum mengtai orang lain. Artinya, menanamkan pemahaman kita yang lebih mendalam agar kita dapat mengetahui siapa diri kita sebenarnya, sehingga kita dapat memahami keberadaan golongan atau agama lain yang hidup di sekeliling berdampingan dengan kita.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa, sikap keberagamaan, manusia memiliki kecenderungan sikap yang berbeda-beda. Ada yang ekslusif, inklusif, dan plural. Mulder dalam Zainudin, membagi sikap keberagmaan seseorang terbagi dalam empat kelompok atau aliran. 1) “aliran kanan”, 2) “aliran sedikit kanan”, 3) “aliran kiri”, 4) “aliran sedikit kiri”.
Pada konteks ini, terdapat dua kelompok besar yang berpikir dalam merespon pluralism Agama. Kelompok pertama, menganggap bahwa pluralism agama sebagai sesuatu yang niscaya. Sedangkan, Kelompok kedua, mengaggap bahwa pluralism agama sebagai suatu paham dan bukan hal niscaya. Pergolakan kedua pemikiran besar ini ujungya tidak pernah melahirkan sintesis terhadap kerukunan antar umat beragama. Untuk itu, Pengertian Pluralisme Agama yang bersyarat ini sebgaimana terekam dalam anjuran Allah dalam Al-Quran sebagai berikut.
Terjemahan: Katakanlah wahai Muhammad: siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (non-muslim) pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Katakanlah kami (non-muslim) tidak akan bertanggung jawa tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian memberi keputusan antara kita dengan benar dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui. (Surah Saba, 34: 24-26).
Semoga dengan semangat persatuan dan kesatuan demi terciptanya kesehjateraan umat bersama, dalam mengedepankan semangat menjungjung tinggi pluralisme agama. Kita dapat mengatasi tantangan besar yang di hadapi oleh Indonesia saat ini terutama persoalan konfilik agama. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan menjadi provocateur of peace atau provokator perdamaian bagi kesejahteraan hidup bersama yang terbingkai dalam konsep bhineka tunggal ika.               
2.      Pertemuan islam dengan pluralisme
Islam, di samping memeliki doktrin-doktrin eksklusiv sebagaimana halnya yahudi dengan kristen, juga memliki doktirn keagamaan yang inklusiv dan pluralis, yakni mengahrgai dan mengakui keberadaan agama lain. Pertemuan antara islam dengan pluralurasime telah di teladankan secara prakasis oleh Rasulullah saw ketika menjadi pemimpin agama dan politik. Ketika beliau berada di Madinah, Beliau SAW memberikan jaminan dan perlindungan serta hak yang sama bagi warga yang lain sepanjang tidak memusuhi Islam. Komitmen yang terbangun sebagaimana tersusun dalam Piagam Madinah pada saat itu, tidak saja disusun sepihak oleh Nabi, akan tetapi melibatkan elemen-elemen warga madinah.
Pada masa sahabat, penghargaan atas keberadaan agama lain, juga dilakukan. Diantaranya ditunjukan melalui masa-masa ekspansi politik, karena pada masa ini tidak saja selalu diikuti oleh keberhasilan dakwah secara kuantitatif, salah satu factor pendukung karena dalam islam terdapat prinsip menghargai konsep keber-agmaan, sebagaimana di terangkan dalam Al-Qur’an “La Ikra Hafiddin” tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam). Kebenaran tesis ini, dapat dijumpai dalam sejarah masuknya Islam ke Sisilia, ke dataran Spanyol hingga ke anak Benua India.
Al-Qur’an telah memberikan penjelasan mengenai pluralisme agama dan eksistensi Agama lain, dengan memiliki orientasi kehidupan masing-masing dalam bentuk penghambaan diri mereka kepada Allah yang mereka yakini. Penjelasan ini sebagaimana dijelaskan dalam terjemahan Al-Qur’an Surat Al-Baqrah ayat 62, sebagai berikut. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi'in, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka-cita”.
Adapun dalam Surat Al-Maidah ayat 48. Dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab (Al-Quran) dengan membawa kebenaran, untuk mengesahkan benarnya Kitab-kitab Suci yang telah diturunkan sebelumnya dan untuk memelihara serta mengawasinya. Maka jalankanlah hukum di antara mereka (Ahli Kitab) itu dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah (kepadamu), dan janganlah engkau mengikut kehendak hawa nafsu mereka (dengan menyeleweng) dari apa yang telah datang kepadamu dari kebenaran. Bagi tiap-tiap umat yang ada di antara kamu, Kami jadikan (tetapkan) suatu Syariat dan jalan agama (yang wajib diikuti oleh masing-masing). Dan kalau Allah menghendaki niscaya Ia menjadikan kamu satu umat (yang bersatu dalam ugama yang satu), tetapi Ia hendak menguji kamu (dalam menjalankan) apa yang telah disampaikan kepada kamu. Oleh itu berlomba-lombalah kamu membuat kebaikan (beriman dan beramal soleh). Kepada Allah jualah tempat kembali kamu semuanya, maka Ia akan memberitahu kamu apa yang kamu berselisihkan padanya
Terhadap kedua ayat diatas Muhammad Asad dalam Umi Sumbulah, menginterpretasikan dan menukilkan kedua ayat tersebut, bahwa untuk semua agama, Tuhan telah menyiapkan hukum suci yang berbeda  dan jalan yang terbuka. Pada ayat 48 surat Al-Maidah, Asad menafsirkan secara harfiah ungkapan Shir’ah berarti jalan ke tempat pengairan. Hal ini digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan bahwa sistem hukum dibutuhkan bagi keselamtan masyarakat dan spritualnya. Sementara istilah Minhaj merupakan jalan terbuka, yang secara abstrak diartikan sebagai jalan hidup. Dalam maknanya, kedua istilah tersebut lebih terbatas ketimbang istilah din, yang mengandung arti tidak hanya terdiri dari hukum-hukum yang berkaitan dengan fakta agama, tetapi juga dasar tentang kebenaran spritual yang tidak berubah, yang menurut Qur’an telah diajarkan oleh setiap Rasul kepada umatnya. 
 Dengan demikian pertemuan antara Islam dengan Pluralisme, adalah keterkaitan antara satu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Artinya islam mengatur aturan-aturan dalam pluralisme, sementara pluralisme merupakan sikap untuk ber-toleransi terhadap eksistensi agama-agama lain. Dalam hal ini bukan saja toleransi eksternal, tetapi juga sangat dibutuhkan toleransi internal antara umat Islam sendiri, karena dalam diri umat Islam sendiri, masing-masing antara satu golongan dengan golongan lain masih memiliki sikap ekslusivisme yang begitu kental, sehingga memberikan pelebelan “kafir” terhadap golongan lain yang tidak sepaham dengan golongannya tanpa memahami dirinya sendiri.
3.      Tokoh-tokoh pluralisme Islam Indonesia
a.       Nurcholis Majid
1)      Biografi
Nama lengkapnya adalah Nurcholis Madjid. Sosok yang lahir di Jombang Jawa Timur pada tanggal 17 Maret 1939 ini. terlahir dalam keluarga cendekiawan muslim. Ia dibesarkan dilingkungan terpandang di Mojoanyar, dari seorang ayah yang bernama K.H. Abdul Madjid, sebagai pendukung Masyumi, dan juga dari Ibunya yang NU. Dari kedua orang tuanya, dia mewarisi darah intelektualisme dan aktivisme dua organisasi besar islam di Indonesia yang sangat berpengaruh ini. Masyumi yang Moedernis dan NahdlatulUlama (NU) yang tradisionalis. Nurcholis yang akrab disapa dengan Cak Nur banyak berkontribusi tentang pemikiran pluralisme yang telah menempatkan dirinya dalam jajaran intelektual muslim di Indonesia.
Pemikiran yang disumbangkan-nya ini, tidak hanya pemikiran biasa. Tatpi, mampu merubah pemikiran masyarakat Indonesia secara komprehensif. Cak Nur memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat Mojoanyar pada pagi hari, dan Madrasah Ibtidaiyah di sore hari. Saat remaja, ia melaanjutkan pendidikanya di salah satu pondok pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Dan kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya di KMI (Kulliyatul Muallimin al Islamiyah) Dar Al Ulum Jombang. Pesantren ini merupakan salah satu pusat penting kaderisasi tradisionalisme Islam NU. Saat dewasa ia melanjutkan studinya ke PP Gontor Jawa Timur.
Setelah dari Gontor, Cak Nur hijrah ke Jakarta dan melanjutkan studinya  pada Universitas Syarif Hidayatullah, saat itu masih IAIN Jakarta. Pada masa-masa studinya, ia berkecimpung pada Organisasi Kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai ketua umum PB (pengurus besar) periode 1966-1969 dan 1969-1971. Disisi lain, Cak Nur juga pernah menjabat sebagai ketua Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, pada tahun 1967-1969, serta wakil sekjen IIFSO (Internasional Islamic Federation of Students Organizations) 1969-1971. Di tahun 1968 ia lulus dari Fakultas Sastra Arab dengan gelar Doktorandus. Setelah itu ia melajutkan studinya ke Chicago, di University of Chicago dan lulus pada tahun 1984 dengan disertasi tentang Filsafat Kalam IbnTaimiyah dan bergelar Ph. D dari prodi Studi Agama Islam.
2)   Pemikiran Pluralisme
Cak Nur menyadari,  masyarakat Indonesia sangatlah pluralis, baik dari segi etnis, adat istiadat, ataupun agama. Selain Islam, hampir semua agama menunjukan keterwakilannya akan eksistensinya di Indonesia. Itulah sebabnya masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi penting. Namun demikian, ia tetap optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini. Islam telah membuktikan kemampuannya secara meyakinkan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan olehnya bahwa: “Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama islam disebut sebagai dukungan, karena islam adalah agama yang pengalamannya dalam melaksanakan toleransi dan pluralism adalah unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih tampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia, dimana agama islam merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami kesulitan yang berarti. Tapi sebaliknya, dimana mayoritas bukan Islam dan kaum muslim menjadi minoritas, mereka selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di Negara-negara demokratis barat. Di sana umat islam sampai saat ini masih memperoleh kebebasan beragama yangmenjadi hak mereka.
Fakta bahwa islam memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi terhadap pluralism sangat kohesif dengan nilai pancasila yang sejak semulamencerminkan tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (common platform) dalam kehidupan berbeangsa dan bernegara. Intinya adalah Indonesia mempunyai pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragaman aliran politik dan keagamaan sejak jaman pra-kemerdekaan sampai sesudahnya. Ia melihat ideology pancasila lah yang telah memberi kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralism keagamaan di Indonesia.
b.      Djohan Efendi
1)      Biografi
Djohan Efendi lahir di Kadungan Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939, sepak terjang beliau adalah merupakan menteri sekretariat negara Kabinet Persatuan Nasional era presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, ia merupakan Staf Khusus Sekretaris Negara atau Penulis Pidato Presiden Soeharto 1978-1995 diperkirakan ia banyak menulis ratusan pidato untuk Presiden ke-II Indonesia itu.
Djohan sangat getol dalam membela masalah kebebasan beragama. Beliau dikenal sebagai pembela kelompok Ahmadiyah dan senior di kalangan aktivis liberal. Namanya masuk dalam buku “50 Tokoh Liberal di Indonesia” untuk kategori pionir atau pelopor gerakan liberal bersama dengan Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Bagi Djohan, Ahmadiyah mempunyai hak yang sama dalam menjalankan keyakinannya di Indonesia.
2)      Pemikiran Pluralisme
Djohan Effendi berpendapat, alam semesta adalah anugerah dari Tuhan Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Wujud. Sebab itu, menjaga serta melestarikan alam semesta menjadi bukti kecintaan seorang hamba kepada Sang Penciptanya. Apabila proses penciptaan terus berlangsung sebagai karya Tuhan yang Maha Pencipta, maka usaha dan upaya membangun lingkungan hidup yang lebih baik menjadi bukti kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya.
Effendi meyakini bahwa jika kehidupan yang berasal dari Tuhan Sang Maha Pencipta dan Pemberi Anugerah diberikan untuk semuanya, maka usaha menghilangkan pikiran sempit serta sekat-sekat yang memisahkan manusia satu dengan lainnya adalah bukti kecintaan kita kepada Tuhan. Segala usaha untuk mengembangkan kehidupan di dunia ini, baik individual, sosial maupun lingkungan, memiliki dimensi spiritualitas dalam seluruh kegiatan hidup manusia tanpa fragmentasi dan departementalisasi antara apa yang sering disebut sebagai sakral dan profan.
Dari landasan radikalisasi berpikir tersebut, Djohan Effendi memimpikan sebuah dunia yang tanpa sekat. Beliau menamainya kotak-kotak agama. Pemikiran semacam ini bukan berarti Djohan Effendi adalah orang yang menafikan agama, tetapi ia lebih senang jika agama itu sendiri tidak ada sekat atau pembatas antara satu sama lain. Kiprahnya sebagai seorang tokoh pluralism agama, merumuskan satu konsepnya  yang paling terkenal adalah teologi cinta. Teologi cinta, tidak dimaksudkan untuk melebur agama-agama di dunia menjadi satu. Melainkan, sebagai landasan teologis untuk mendekatkan para pemeluk agama dalam satu kesadaran bahwa mereka adalah umat yang satu sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran bahwa sudah sepatutnya umat manusia saling mencintai. Beliau juga menuturkan, setiap umat Muslim harusnya selalu membaca kalimat Ummul Kitab yang tak lain adalah bacaan Basmallah yang substansinya adalah sifat rahmaniyah dan rahimiyah atau kasih dan sayang Allah. Serta, berpandangan bahwa semua agama adalah anugerah dari Tuhan Maha Pencipta.

C.  Kesimpulan
1.   Pluralisme berbeda dengan pluralistik, sering kali orang-orang menyama artika kedua kata ini, namun pada intinya kedua kata ini saling mendukung antara satu sama lain. Pluralistik adalah kenyataan yang berbentuk jamak atau banyak, sementara pluralisme adalah paham yang memahami dan menyakini adanya keberadaan kenyataan yang banyak tersebut. Kata pluralisme disematkan dengan Agama menjadi paham yang menyakini bahwa di dunia ini bukan hanya ada satu agama, namun terdapat banyak eksistensi agama lain, dengan jalan perbedaan menuju penghambaan diri kepada sang pencipta.
2.  Pertemuan Islam dengan Pluralisme jauh hari sejak awal kedatangan Islam, Rasulullah telah mempraktekannya secara praktis pada saat itu dengan mempersatukan, kaum muslimin dengan suku-suku yang berdiam diri di madinah saat itu. Dengan merumuskan suatu kesepakatan bersama yakni “Piagam Madinah.
3.    Tokoh-tokoh pluralisme Islam di Indonesia yang tiada hentinya di bicarakan oleh para kalangan intelektual Islam di Indonesia adalah Nurcholis Majid dan Djohan Efendi. Sosok kedua tokoh ini merupakan Provokator perdamaian bagi kemajuan bangsa indonesia. Dalam hal ini bagi kemajuan intelektual para aktivis Islam yang menjujung tinggi nilai-nilai toleransi Beragama.


Daftar Rujukan

Anwar Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cedekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina.

Asad. Muhammad, The Massage of the Quran, Gibraltal: Dar Andalus, 1980.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: CV Penerbit Jumanatul ‘Ali-Art, 2005.  

Ihsan Yitik. Ali, Islam and Pluralism; Journal of religion culture, Nr 68, 2004.

Madjid. Nurcholis, Islam, Doktrin, dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
--------. Nurcholis, Kehampaan spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: Media Citra.

---------. Nurcholis, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaddudin dan Cik Hasan Bisri (ed) “Dinamika Pemikiran Islam di Perguaruan Tinggi”, ( Jakarta: LOGOS, 2002.

Mohammad Fatih Osman, Islam Pluralisme & Toleransi Keagamaan, Terbitan; Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi.

Muksith Gazali. Abdul, Perekat Agama-agama, Democracy Project, Youtube-360, di rujuk pada, 12 April, 2015.

Rahaman. Fazlur, Major Themes Of The Qur’an, Minneapolis & Chicago Bibliotheca, 1980.

Risa Agustin, Kamus Ilmiah Populer, PT. Serbajaya: “Surabaya”.

Shihab Qurais, Orasi Ilmiah, peluncuran buku Putih Mazhab Sunni Syia’ah, lihat di Youtube. Di rujuk pada, 14 mei 2015.

Shihab. Alwi, Islam Inklusif, cet, V; Bandung: PT Penerbit Mizan, 1999.

Sumbulah. Umi, Sikap Keberagaman dalam tradisi Agama-agama Ibrahim, Ulul Albab, Vol. 8 No. 1, 2007.
Thohir Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004.

Wahid. Abdurrahman, Universalime Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Makalah padaklub kajian agama universitas Paramadina pada tahun 1998. Jakarta: Yayasan Paramadina. 1994.

Wahyuni. Wina Sumiati, ed. Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.

Williams. Cf.Rowan, “Islam, Christianity and Pluralism”, Zaki Badawi Memorail Lecture Series London: Lambeth Palace and The Association of Muslim Social Sciences, 2007.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar