ISLAM TIPOLOGI PLURALISME Di INDONESIA
By M. Sahrawi Saimima
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Islam
tipologi pluralisme di Indonesia adalah sebuah paham yang menyakini adanya
keberadaan agama lain dengan memiliki kebenaran masing-masing. Indonesia
sebagai Negara yang memayungi lima agama didalamnya Islam, Kristen, Hindu,
Budha dan Konghucu dengan Islam sebagai mayoritas. Tentu, memberikan peran
signifikan dalam membijaki setiap persoalan-persoalan keagamaan.
Muqsith
Gazali dalam Dmocracy Project, mengemukakan; ulama dalam Islam terbagi atas
tiga golongan; golongan pertama adalah golongan eksklusif, golongan ini
menganggap bahwa hanya golongannya atau agamanya sajalah yang benar sementara
golongan yang lain yang tidak sepaham dengan mereka adalah salah atau sesat.
Sandaran golongan ini pada teks Al-Qur’an “Innaddina
Indallah hil Islam”. sementara dalam kristen Yesus berkata: “Akulah jalan dan kebenaran hidup. Tidak ada
seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”. (Yohanes
14:6). Golongan ke-dua adalah golongan inklusif, golongan ini menganggap semua
Agama itu benar, sementara golongan ke-tiga adalah golongan plural,
golongan ini menganggap bahwa satu golongan dengan golongan lain tidak dapat
mencapuri urusan golongan lain. Artinya, satu golongan memiliki kebenaran
masing-masing dalam bentuk penghambaan diri mereka kepada
Tuhan.
Senada dengan pernyataan diatas Rowan
Williams, juga mengemukakan “In the
context of theology and religious studies, religious pluralism is often treated
under the three headings of exclusivist, inclusivist, and pluralist. The
exclusivists believe that only their faith is true and all others are false,
whereas the inclusivists believe that their faith is true and others are
included within it in some sense. The pluralists believe on the other hand that
all faiths are true and show different paths to the same Truth. (Dalam konteks teologi dan studi agama, pluralisme agama
sering diperlakukan di bawah tiga tema yakni eksklusif, inklusif, dan pluralis. eksklusif percaya bahwa hanya iman mereka benar dan semua orang
lain palsu, sedangkan inklusivis percaya bahwa iman mereka benar dan orang lain
termasuk di dalamnya. Pluralis percaya
di sisi lain bahwa semua agama adalah benar dan menunjukkan jalan yang berbeda
untuk yang sama)”. Tulisan ini, secara umum dan mendetil akan membahas tentang Islam Tipologi Pluralisme di
Indonesia dengan cakupan bahasan
meliputi; Pluralisme dan penjelasnnya, Pertemuan Islam dengan Pluralisme,
Tokoh-tokoh Pluralisme Islam Indonesia.
2.
Rumusan pembasan
a.
Pluralisme dan
penjelasnnya.
b.
Pertemuan Islam dengan
Pluralisme.
c.
Tokoh-tokoh Pluralisme Islam
Indonesia
3.
Tujuan pembahasan
a.
Penjelasan Pluralisme.
b.
Menguraikan Pertemuan
Islam dengan Pluralisme.
c.
Membicarakan siapa saja tokoh-tokoh Pluralisme Islam
Indonesia.
B.
Pembahasan
1.
Pluralisme Agama dan
penjelasnnya
Pluralisme
Agama seakan tiada habisnya menjaidi trending topik dalam kehidupan
beragama sehari-hari, dari berbagai golongan yang menganggap
penganut paham Pluralis tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama mereka. Ali Ihsan Yitik, menjabarkan dalam “journal
of religion cultur” bahwa, “The
problem of pluralism emerges not at socio-cultural level, but at the religious
sphere. For instance it comes out as a problem when we talk about salvation.
Long before the emergence of the problem of pluralism as a philosophical
matter, Muslims had discussed this topic for centuries not only for Jews and
Christians but also for anybody who had heard nothing about God and his
messages. (Masalah
pluralisme muncul tidak pada tingkat sosial-budaya saja, tetapi
pada lingkup agama. Misalnya itu keluar sebagai masalah ketika kita berbicara
tentang keselamatan. Jauh sebelum munculnya masalah pluralisme sebagai masalah
filosofis, Muslim telah membahas topik ini selama berabad-abad tidak hanya
untuk orang-orang Yahudi dan Kristen tetapi juga bagi siapa saja yang telah
mendengar apa-apa tentang Allah dan pesan-pesannya)”.
Pluralisme
adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap kemajemukan terjadi dalam
suatu masyarakat tertentu atau di dunia secara keseluruhan. Artinya lebih dari sekadar toleransi moral atau
keberadaan bersama (koeksistensi) yang pasif. Toleransi adalah soal perasaan
dan perilaku individual, sementara koeksistensi semata-mata merupakan
penerimaan terhadap pihak lain, sekadar dalam batas tidak terjadinya konflik. Fazlur Rahman menuturkan, “human life
is a moral struggle endlessly” so, jika dia mengabaikan perjuangan
ini sesaat saja, dia dapat terperangkap oleh seytan.
Untuk
memahami pluralisme Agama, hal yang pertama adalah memahami makna pluralisme. Pluralisme
adalah paham yang meyakini realitas terdiri dari banyak substansi. Penyematan
kata pluralisme dengan agama menjadikan kedua kata tersebut, antara Pluralisme
dengan Agama menjadi satu makna yakni menyakini keberadaan semua Agama dalam
kehidupan ini tanpa mengingkari satu diantara ke semuanya.
Secara garis besar pengertian
pluralisme agama dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pluralisme
agama tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan tersebut.
Melainkan,
pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai
dimana-mana. Seperti di sekolah, tempat kerja dan tempat kita berbelanja.
Tetapi seseorang baru dapat dikatakan
menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan
kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah
bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama
lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan, dalam kebinekaan.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan
kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada realita kehidupan ragam agama, ras, bangsa, hidup berdampingan di suatu lokasi, semisalnya di new
york. Kota ini di diami oleh orang-orang Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha
bahkan orang-orang tanpa beragama. Namun interaksi penduduk ini misalnya di
bidang agama sangatlah minim.
Ketiga, pluralisme tidak dapat di sama artikan dengan relativisme.
Seorang relativs akan berpandangan bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau
nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir sesorang atau
masyarakatnya. Sebagai contoh, kepercayaan atau kebenaran yang diyakini. Keempat,
pluralisme agama bukanlah Sinkritisme, yakni sinkritisme menciptakan suatu
agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari
beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.
Dengan
demikian kita perlu untuk mengahragai keberadaan agama lain demi tercipta
kesahjetraan umat bersama. Bukan malah sebaliknya menimbulkan sikap black
and white artinya sikap mengkafirkan antara satu golongan yang tidak sesuai
dengan golanganya. Qurais Shihab, dalam pidato pluncuran buku Putih mazhab
Sunni Syi’ah. Beliau mengatakan,
kita perlu memahami diri kita sebelum mengtai orang lain. Artinya, menanamkan pemahaman kita yang lebih
mendalam agar kita dapat mengetahui siapa diri kita sebenarnya, sehingga kita dapat
memahami keberadaan golongan atau agama lain yang hidup di sekeliling
berdampingan dengan kita.
Sebagaimana
dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa, sikap keberagamaan, manusia memiliki
kecenderungan sikap yang berbeda-beda. Ada yang ekslusif, inklusif, dan plural.
Mulder dalam Zainudin, membagi sikap keberagmaan seseorang terbagi dalam empat
kelompok atau aliran. 1) “aliran kanan”, 2) “aliran sedikit kanan”, 3) “aliran
kiri”, 4) “aliran sedikit kiri”.
Pada
konteks ini, terdapat dua kelompok besar yang berpikir dalam merespon pluralism
Agama. Kelompok pertama, menganggap bahwa pluralism agama sebagai
sesuatu yang niscaya. Sedangkan, Kelompok kedua, mengaggap bahwa
pluralism agama sebagai suatu paham dan bukan hal niscaya. Pergolakan kedua
pemikiran besar ini ujungya tidak pernah melahirkan sintesis terhadap kerukunan
antar umat beragama. Untuk itu, Pengertian Pluralisme Agama
yang bersyarat ini sebgaimana terekam dalam anjuran Allah dalam Al-Quran sebagai berikut.
Terjemahan: Katakanlah wahai
Muhammad: siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?
Katakanlah “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (non-muslim) pasti berada
dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Katakanlah kami (non-muslim) tidak
akan bertanggung jawa tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan
ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah Tuhan kita akan
mengumpulkan kita semua, kemudian memberi keputusan antara kita dengan benar
dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui. (Surah Saba, 34: 24-26).
Semoga dengan semangat persatuan dan
kesatuan demi terciptanya kesehjateraan umat bersama, dalam mengedepankan semangat menjungjung
tinggi pluralisme agama. Kita dapat
mengatasi tantangan besar yang di hadapi oleh Indonesia saat ini terutama
persoalan konfilik agama. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan menjadi provocateur of peace atau provokator
perdamaian bagi kesejahteraan
hidup bersama yang terbingkai dalam konsep bhineka tunggal ika.
2.
Pertemuan islam dengan
pluralisme
Islam,
di samping memeliki doktrin-doktrin eksklusiv sebagaimana halnya yahudi dengan
kristen, juga memliki doktirn keagamaan yang inklusiv dan pluralis, yakni
mengahrgai dan mengakui keberadaan agama lain. Pertemuan antara islam dengan
pluralurasime telah di teladankan secara prakasis oleh Rasulullah saw ketika
menjadi pemimpin agama dan politik. Ketika beliau
berada di Madinah, Beliau
SAW memberikan jaminan dan perlindungan serta hak yang sama bagi warga yang lain
sepanjang tidak memusuhi Islam. Komitmen yang terbangun sebagaimana tersusun
dalam Piagam Madinah pada saat itu, tidak saja disusun
sepihak oleh Nabi, akan tetapi melibatkan elemen-elemen warga madinah.
Pada masa sahabat, penghargaan atas keberadaan agama
lain, juga dilakukan. Diantaranya ditunjukan melalui masa-masa ekspansi
politik, karena pada masa ini tidak saja selalu diikuti oleh keberhasilan
dakwah secara kuantitatif, salah satu factor pendukung karena dalam islam terdapat prinsip menghargai konsep keber-agmaan, sebagaimana di
terangkan dalam Al-Qur’an “La Ikra Hafiddin” tidak ada paksaan dalam
memeluk agama (Islam). Kebenaran tesis ini, dapat dijumpai dalam sejarah masuknya Islam ke Sisilia, ke dataran
Spanyol hingga ke anak Benua India.
Al-Qur’an telah memberikan penjelasan mengenai pluralisme
agama dan eksistensi Agama lain, dengan memiliki orientasi kehidupan masing-masing dalam bentuk
penghambaan diri mereka kepada Allah yang mereka yakini. Penjelasan ini
sebagaimana dijelaskan dalam terjemahan Al-Qur’an Surat Al-Baqrah ayat 62, sebagai berikut. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi'in, barang siapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah
ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka, dan tidak
ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka-cita”.
Adapun dalam Surat Al-Maidah ayat 48. “Dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab
(Al-Quran) dengan membawa kebenaran, untuk mengesahkan benarnya Kitab-kitab
Suci yang telah diturunkan sebelumnya dan untuk memelihara serta mengawasinya.
Maka jalankanlah hukum di antara mereka (Ahli Kitab) itu dengan apa yang telah
diturunkan oleh Allah (kepadamu), dan janganlah engkau mengikut kehendak hawa
nafsu mereka (dengan menyeleweng) dari apa yang telah datang kepadamu dari
kebenaran. Bagi tiap-tiap umat yang ada di antara kamu,
Kami jadikan (tetapkan) suatu Syariat dan jalan agama (yang wajib diikuti oleh
masing-masing). Dan kalau Allah menghendaki niscaya Ia menjadikan kamu satu umat (yang
bersatu dalam ugama yang satu), tetapi Ia hendak menguji kamu (dalam
menjalankan) apa yang telah disampaikan kepada kamu. Oleh itu berlomba-lombalah kamu membuat kebaikan (beriman dan
beramal soleh). Kepada Allah jualah tempat kembali kamu semuanya, maka Ia akan
memberitahu kamu apa yang kamu berselisihkan padanya”
Terhadap kedua ayat diatas Muhammad Asad dalam Umi
Sumbulah, menginterpretasikan dan menukilkan kedua ayat tersebut, bahwa untuk
semua agama, Tuhan telah menyiapkan hukum suci yang berbeda dan jalan yang terbuka. Pada ayat 48 surat
Al-Maidah, Asad menafsirkan secara harfiah ungkapan Shir’ah berarti jalan
ke tempat pengairan. Hal ini digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan bahwa sistem
hukum dibutuhkan bagi keselamtan masyarakat dan spritualnya. Sementara istilah Minhaj merupakan
jalan terbuka, yang secara abstrak diartikan sebagai jalan hidup. Dalam maknanya,
kedua istilah tersebut lebih terbatas ketimbang istilah din, yang
mengandung arti tidak hanya terdiri dari hukum-hukum yang berkaitan dengan
fakta agama, tetapi juga dasar tentang kebenaran spritual yang tidak berubah,
yang menurut Qur’an telah diajarkan oleh setiap Rasul kepada umatnya.
Dengan demikian
pertemuan antara Islam dengan Pluralisme, adalah keterkaitan antara satu mata
rantai yang tidak dapat dipisahkan. Artinya islam mengatur aturan-aturan dalam
pluralisme, sementara pluralisme merupakan sikap untuk ber-toleransi terhadap
eksistensi agama-agama lain. Dalam hal ini bukan saja toleransi eksternal,
tetapi juga sangat dibutuhkan toleransi internal antara umat Islam sendiri,
karena dalam diri umat Islam sendiri,
masing-masing antara satu golongan
dengan golongan lain masih memiliki sikap ekslusivisme yang begitu kental,
sehingga memberikan pelebelan “kafir” terhadap golongan lain yang tidak sepaham
dengan golongannya tanpa memahami dirinya sendiri.
3.
Tokoh-tokoh pluralisme Islam
Indonesia
a.
Nurcholis Majid
1)
Biografi
Nama lengkapnya adalah Nurcholis Madjid. Sosok yang lahir di Jombang Jawa Timur pada
tanggal 17 Maret 1939 ini. terlahir
dalam keluarga cendekiawan muslim. Ia dibesarkan dilingkungan terpandang di Mojoanyar, dari
seorang ayah yang bernama K.H. Abdul Madjid, sebagai pendukung Masyumi, dan
juga dari Ibunya yang NU. Dari kedua orang tuanya, dia mewarisi darah intelektualisme dan
aktivisme dua organisasi besar islam di Indonesia
yang sangat berpengaruh ini.
Masyumi yang Moedernis dan NahdlatulUlama (NU) yang tradisionalis. Nurcholis yang akrab disapa dengan Cak Nur banyak berkontribusi tentang pemikiran pluralisme yang telah menempatkan dirinya dalam jajaran intelektual muslim di Indonesia.
Pemikiran
yang disumbangkan-nya ini, tidak hanya pemikiran biasa. Tatpi, mampu merubah pemikiran masyarakat Indonesia secara komprehensif. Cak Nur memulai
pendidikannya di Sekolah Rakyat Mojoanyar pada pagi hari, dan Madrasah
Ibtidaiyah di sore hari. Saat remaja, ia melaanjutkan pendidikanya
di salah satu
pondok pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Dan
kemudian ia melanjutkan
sekolah menengahnya di KMI (Kulliyatul Muallimin al
Islamiyah) Dar Al Ulum Jombang. Pesantren ini merupakan salah satu pusat
penting kaderisasi tradisionalisme
Islam NU. Saat dewasa ia melanjutkan studinya ke PP Gontor Jawa Timur.
Setelah dari Gontor, Cak Nur hijrah ke Jakarta dan
melanjutkan studinya pada Universitas
Syarif Hidayatullah, saat itu masih IAIN Jakarta. Pada
masa-masa studinya, ia berkecimpung pada Organisasi Kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) sebagai
ketua umum PB (pengurus besar) periode
1966-1969 dan 1969-1971. Disisi
lain,
Cak Nur juga pernah menjabat sebagai ketua
Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, pada
tahun 1967-1969, serta wakil
sekjen IIFSO (Internasional Islamic Federation of
Students Organizations) 1969-1971. Di tahun
1968 ia lulus dari Fakultas Sastra Arab dengan gelar Doktorandus. Setelah itu ia melajutkan studinya ke Chicago, di
University of Chicago dan lulus pada tahun
1984 dengan disertasi tentang Filsafat Kalam IbnTaimiyah dan bergelar Ph.
D dari prodi Studi Agama Islam.
2)
Pemikiran
Pluralisme
Cak Nur menyadari, masyarakat Indonesia sangatlah
pluralis, baik dari
segi etnis, adat istiadat, ataupun
agama. Selain Islam,
hampir semua agama menunjukan keterwakilannya akan
eksistensinya di Indonesia. Itulah sebabnya masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi
penting. Namun demikian, ia tetap optimis
bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini. Islam telah membuktikan kemampuannya secara meyakinkan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan olehnya bahwa: “Kenyataan
bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama islam disebut sebagai dukungan,
karena islam adalah agama yang pengalamannya dalam melaksanakan toleransi dan
pluralism adalah unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu
kurang lebih tampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia, dimana
agama islam merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami
kesulitan yang berarti. Tapi sebaliknya, dimana mayoritas bukan Islam dan kaum
muslim menjadi minoritas, mereka selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil,
kecuali di Negara-negara demokratis barat. Di sana umat islam sampai saat ini
masih memperoleh kebebasan beragama yangmenjadi hak mereka.
Fakta
bahwa islam memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi
terhadap pluralism sangat kohesif dengan nilai pancasila yang sejak semulamencerminkan
tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan
(common platform) dalam kehidupan berbeangsa dan bernegara. Intinya adalah
Indonesia mempunyai pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragaman aliran politik dan keagamaan
sejak jaman pra-kemerdekaan sampai sesudahnya. Ia melihat ideology pancasila
lah yang telah memberi kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah
pluralism keagamaan di Indonesia.
b.
Djohan Efendi
1)
Biografi
Djohan Efendi lahir di Kadungan Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939,
sepak terjang beliau adalah merupakan menteri sekretariat negara Kabinet Persatuan Nasional era
presiden Abdurrahman Wahid.
Sebelumnya, ia merupakan Staf Khusus Sekretaris Negara atau Penulis Pidato
Presiden Soeharto 1978-1995 diperkirakan ia banyak menulis ratusan pidato untuk
Presiden ke-II Indonesia itu.
Djohan sangat getol dalam membela masalah
kebebasan beragama. Beliau dikenal sebagai pembela kelompok Ahmadiyah dan
senior di kalangan aktivis liberal. Namanya masuk dalam buku “50 Tokoh Liberal
di Indonesia” untuk kategori pionir atau pelopor gerakan liberal bersama
dengan Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Bagi Djohan, Ahmadiyah mempunyai hak
yang sama dalam menjalankan keyakinannya di Indonesia.
2)
Pemikiran Pluralisme
Djohan Effendi berpendapat, alam semesta adalah anugerah
dari Tuhan Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Wujud. Sebab itu, menjaga serta
melestarikan alam semesta menjadi bukti kecintaan seorang hamba kepada Sang
Penciptanya. Apabila proses penciptaan terus berlangsung sebagai karya Tuhan
yang Maha Pencipta, maka usaha dan upaya membangun lingkungan hidup yang lebih
baik menjadi bukti kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya.
Effendi meyakini bahwa jika kehidupan yang
berasal dari Tuhan Sang Maha Pencipta dan Pemberi Anugerah diberikan untuk
semuanya, maka usaha menghilangkan pikiran sempit serta sekat-sekat yang
memisahkan manusia satu dengan lainnya adalah bukti kecintaan kita kepada
Tuhan. Segala usaha untuk mengembangkan kehidupan di dunia ini, baik individual,
sosial maupun lingkungan, memiliki dimensi spiritualitas dalam seluruh kegiatan
hidup manusia tanpa fragmentasi dan departementalisasi antara apa yang sering
disebut sebagai sakral dan profan.
Dari landasan radikalisasi berpikir tersebut,
Djohan Effendi memimpikan sebuah dunia yang tanpa sekat. Beliau menamainya kotak-kotak
agama. Pemikiran semacam ini bukan berarti Djohan Effendi adalah orang yang
menafikan agama, tetapi ia lebih senang jika agama itu sendiri tidak ada sekat
atau pembatas antara satu sama lain. Kiprahnya sebagai seorang tokoh pluralism
agama, merumuskan satu konsepnya yang
paling terkenal adalah teologi cinta. Teologi cinta, tidak dimaksudkan untuk
melebur agama-agama di dunia menjadi satu. Melainkan, sebagai landasan teologis
untuk mendekatkan para pemeluk agama dalam satu kesadaran bahwa mereka adalah
umat yang satu sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran bahwa sudah sepatutnya
umat manusia saling mencintai. Beliau juga menuturkan, setiap umat Muslim
harusnya selalu membaca kalimat Ummul Kitab yang tak lain adalah bacaan
Basmallah yang substansinya adalah sifat rahmaniyah dan rahimiyah atau kasih
dan sayang Allah. Serta, berpandangan bahwa semua agama adalah anugerah dari
Tuhan Maha Pencipta.
C.
Kesimpulan
1. Pluralisme berbeda dengan
pluralistik, sering kali orang-orang menyama artika kedua kata ini, namun pada
intinya kedua kata ini saling mendukung antara satu sama lain. Pluralistik
adalah kenyataan yang berbentuk jamak atau banyak, sementara pluralisme adalah
paham yang memahami dan menyakini adanya keberadaan kenyataan yang banyak
tersebut. Kata pluralisme disematkan dengan Agama menjadi paham yang menyakini
bahwa di dunia ini bukan hanya ada satu agama, namun terdapat banyak eksistensi
agama lain, dengan jalan perbedaan menuju penghambaan diri kepada sang
pencipta.
2. Pertemuan Islam dengan
Pluralisme jauh hari sejak awal kedatangan Islam, Rasulullah telah
mempraktekannya secara praktis pada saat itu dengan mempersatukan, kaum
muslimin dengan suku-suku yang berdiam diri di madinah saat itu. Dengan
merumuskan suatu kesepakatan bersama yakni “Piagam Madinah.
3. Tokoh-tokoh pluralisme
Islam di Indonesia yang tiada hentinya di bicarakan oleh para kalangan
intelektual Islam di Indonesia adalah Nurcholis Majid dan Djohan Efendi. Sosok kedua tokoh ini merupakan Provokator perdamaian
bagi kemajuan bangsa indonesia. Dalam hal ini bagi kemajuan intelektual para aktivis Islam yang menjujung tinggi nilai-nilai toleransi Beragama.
Daftar Rujukan
Anwar Syafii, Pemikiran
dan Aksi Islam di Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cedekiawan Muslim
Orde Baru, Jakarta: Paramadina.
Asad. Muhammad, The Massage of the Quran, Gibraltal:
Dar Andalus, 1980.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. (Bandung: CV Penerbit Jumanatul ‘Ali-Art, 2005.
Ihsan
Yitik. Ali, Islam and Pluralism; Journal of religion culture, Nr 68,
2004.
Madjid. Nurcholis,
Islam, Doktrin, dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
--------. Nurcholis, Kehampaan
spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat
Madani, Jakarta:
Media Citra.
---------. Nurcholis, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,
dalam Fuaddudin dan Cik Hasan Bisri (ed) “Dinamika Pemikiran Islam di
Perguaruan Tinggi”, ( Jakarta: LOGOS, 2002.
Mohammad
Fatih Osman, Islam Pluralisme & Toleransi Keagamaan, Terbitan;
Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi.
Muksith Gazali. Abdul, Perekat Agama-agama, Democracy Project,
Youtube-360, di rujuk pada, 12 April, 2015.
Rahaman. Fazlur, Major Themes Of The Qur’an, Minneapolis &
Chicago Bibliotheca, 1980.
Risa Agustin, Kamus Ilmiah Populer, PT. Serbajaya: “Surabaya”.
Shihab Qurais, Orasi Ilmiah, peluncuran buku Putih Mazhab Sunni
Syia’ah, lihat di Youtube. Di rujuk pada, 14 mei 2015.
Shihab. Alwi, Islam Inklusif, cet, V; Bandung: PT Penerbit Mizan,
1999.
Sumbulah. Umi, Sikap Keberagaman dalam tradisi Agama-agama Ibrahim, Ulul
Albab, Vol. 8 No. 1, 2007.
Thohir Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah,
Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004.
Wahid. Abdurrahman,
Universalime
Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Makalah padaklub kajian
agama universitas Paramadina pada tahun 1998. Jakarta: Yayasan Paramadina.
1994.
Wahyuni. Wina Sumiati, ed. Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran Islam di
Indonesia. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.
Williams. Cf.Rowan,
“Islam, Christianity and Pluralism”, Zaki Badawi Memorail Lecture Series
London: Lambeth Palace and The Association of Muslim Social Sciences, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar