Rabu, 02 Desember 2015

Takhrij Hadits

TAKHRIJ HADITS dan MODELNYA
Oleh: Sahrawi Saimima

A.  Pendahuluan
1.      Latar Belakang
       Keterpercayaan soal Hadits merupakan persoalan kontroversi dikalangan para sarjana studi-studi Islam, tidak hanya antara Islam dengan non-Islam tetapi juga antara sesama sarjana kalangan umat Islam sendiri. Hal ini dikarenakan posisi Hadits, dibukukan setelah bebrapa periode setelah islam datang dan berkembang secara pesat. Oleh karenanya sangat dibutuhkan toleransi internal dan ekseternal dalam memahami konteks Hadits tersebut dengan sebaik mungkin.
Perbedaan yang mencolok antara para sarjanawan Muslim dengan non-Muslim dalam mempelajari Hadits, adalah sajarawan muslim lebih didorong oleh peran sentral yang dimainkan oleh Hadits sebagai sumber hukum dan doktrin teologis, sementara para sarjana barat mempelajari Hadits pada dasarnya didorong oleh kepentingan sejarah.
Tulisan ini akan membahas tentang Tkharij Hadits dan Modelnya dengan komposisi pembahasannya meliputi, menjelaskan takhrij hadits dan penjelannya, bagaimana cara dalam men-takhrij sebuah hadits, serta model-model takhrij hadits, Penjelasan masing-masing  akan di bahas pada bagian pembahasannya.
2.      Rumusan Pembahasan
a.       Takhrij hadis dan penjelasannya?
b.      Bagaimana cara melakukan takhrij hadis dengan langkah-langkahnya?
c.       Seperti apakah model-model takhrij?
3.      Tujuan Penulisan   
a.       Menjelaskan pengertian takhrij hadis.
b.      Menjelaskan cara men-takhrij hadis dengan langkah-langkahnya.
c.       Menjabarkan model-model takhrij.
B.  Pembahasan
1.      Takhrij Hadits dan Penjelasannya
Secara bahasa Takhrij berasal dari kata (خرج) yang berarti tampak atau jelas, sedangkan secara terminology takhrij menurut para ahli Hadits berarti bagaimana seseorang menyebutkan dalam kitab karangannya suatu hadits dengan sanadnya sendiri. Menurut pendapat lain takhrij dalam kalimat berarti mengembalikan suatu Hadits kepada ulama yang menyebutkannya dalam suatu kitab dengan memberikan penjelasan kriteria-kriteria hukumnya. (takhrij bukan saja untuk Hadits).
Adapun dalam mengtakhrij suatu Hadits, memiliki tujuan untuk menunjukan sumber-sumber-sumber Hadits dengan menerangkan ditolak atau diterima suatu Hadits tersebut. Artinya adalah dalam upaya melakukan takhrij seseorang harus betul-betul jeli terhadap Hadits yang diketahuinya hingga sumber pertama dari orang yang menyampaikan Hadits tersebut.
Pada awal perkembangannya, Takhrij Hadits tidak dibutuhkan oleh para ulama, hal ini dikarenakan pengetahuan para ulama saat itu mengenai Hadits sangat lengkap dan baik. Akses para ulama terhadap sumber Hadits juga sangat kuat. Dengan kemamupuan yang mereka miliki, mereka dengan mudah dapat menggunakan dan mencari sumber aslinya dalam rangka men-Takhrij Hadits.
Para ulama merasa perlu dilakukannya Takhrij Hadits ketika telah berjalan beberapa periode. Ketika pada saat itu ada sebagaian para ulama yang menyampaikan suatu perkara yang disandarkan kepada Hadits, tidak disertakan dengan sumber aslinya. Dengan melihat keadaan ini para ulama berspakat untuk melakukan Takhrij kepada Hadits-hadits pada saat itu dan muncullah berbagai kitab Takhrij Hadits seperti Al-Kahathib al-bagdhadi (w.463), dan Kitab Takhrij yang palaing terkenal adalah Takhrij al-fawa’id al-muntkhabah al-shihah wa al-ghara’ib karya Kasim Abi al-Qasim al-Husaini, Takhrij al-fawa’id al-Muntakhabah al-shihah wa al-ghara’ib karaya Abi Qasim al-Muhammad Ibnu Muasa al-Hazimi al-Syafi’i. 
2.        Cara melakukan Takhrij Hadits dengan langkah-langkahnya
            Imam Al-Sakhawi dalam Abu Muhammad Abdul Mahdi, mengatakan para Ahli Takhrij tidak berbuat sendiri-sendiri terhadap Hadits-haditsnya. Kebanyakan mereka berbuat menurut kitab induk hadits-hadist tersebut dan begitu pula dengan sanad-sanadnya. Setelah menyelesaikan suatu hadits mereka berterus terang menisbatkannya kepada, katakanlah Imam Bukhari atau Imam Muslim atau kepada keduanya. Sekalipun terdapat perbedaan lafal dengan beliau berdua.
            Berikut ini adalah salah satu contoh Takhrij Hadits yang dalam hal ini adalah takhrij hadis Nabi saw. Tentang keharusan memulai ibadah puasa dan mengakhirinya dengan melihat hilal.
عَنٌ مَالكِ عَن نا فع و عبد الله بن د ينا ر عن بن عمر أن ر سو ل ا لله صلى ا لله  عليه وسلم قا ل : لا تصو موا
حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
Terjemahan: Dari Malik, dari Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari Ibn Umar, bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, “janganlah kamu berpuasa (puasa ramadhan) sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber’idul fitri) sehingga kamu melihatnya. Jika hilal tersebut tertutup dari pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya (bilangannya).
Secara sistematis, langkah-langkah yang dilakukan dalam men-takhrij Hadits diatas adalah sebagai berikut:
     a.      Takhrij Al-Hadits
Hadits di atas, yang membicarakan tentang keharusan melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan diriwayatkan oleh malik dari dua orang guru-nya, yaitu Nafi’ dan ‘Abd Allah ibn Dinar, dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar. Ketika ditelusuri lafal Hadits tersebut berdasarkan awal kosa katanya dengan menggunakan kitab Mu’jam  Jami’ al-Ushul fi Alhadaits al-rasul, ditemukan lima riwayat Hadits, tetapi dengan melakukan takhrij al-hadits bi al-lafadz dengan mempergunakan kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-fadh al-hadits al-nabawi, dengan menelusri kosakata sawana, ditemukan enam riwayat Hadits, yautu dengan tambahan riwayat Ahmad atas kelima riwayat yang terdapat pada Jami’ al-ushul, keenam riwayat tersebut terdapat pada:
1)  Kitab Al-Muwatha’ Imam Malik, halaman 177: hadis nomor 633, 634.
2)  Kitab Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 62-63: hadis nomor. 16-17.
3)  Kitab Shahih Muslim, juz 3, halaman 133: hadis nomor 3
4)  Kitab Shahih Muslim, juz 6, halaman 435-436: hadis nomor 2302.
 5) Kitab Sunan al-Nas’i, juz 6, halaman 108: hadis nomor 2.
6) Kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz 2, halaman 337: hadis nomor 5294.
Untuk kepentingan I’tibar, sebagai langkah berikutnya akan dikutipkan matan dan sanad yang di Takhrij oleh Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Nasa’I, dan Ahmad ibn Hanbal sebagai berikut:
1)      Pada kitab Muwatha’ Malik terdapat dua riwayat
a)    Riwayat yang datang dari Nafi’ adalah

عن مالك عن نا فع و عبد الله بن د ينا ر عن بن عمر أن ر سو ل ا لله صلى ا لله  عليه وسلم قا ل : لا تصو موا
حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
b)   Riwayat yang datang dari Abd Allah ibn Dinar, berbunyi:
عن مالك عن نا فع و عبد الله بن د ينا ر عن بن عمر أن ر سو ل ا لله صلى ا لله  عليه وسلم قا ل : الشهر تسع وعشرون فلا  تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله                 
2)        Dalam Shahih al-Bukhari, matan dan sanad-nya adalah sebagai berikut:
حد ثنا عبد الله بن مسلمه عن عن ما لك نا فع و عبد الله ا بن عمر ر ضي الله عنهما أن ر سو ل ا لله صلى ا لله  عليهوسلم ذ كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
حد ثنا عبد الله بن مسلمه عن عن ما لك نا فع و عن عبد الله ا بن د ينا ر  عن عبد الله ا بن عمر ر ضي الله عنهما أن ر سو ل ا لله صلى ا لله  عليهوسلم ذ كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
3)      Dalam Shahih Muslim, matan dan sanadnya sebgai berikut:
حد ثنا يحي بن يحي قا ل : قر أ ت على  نا فع عن بن عمر عنهما عن النبي صلى ا لله  عليهوسلم ذ كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
4)      Dalam Sunan Abu Dawud, matan dan sanad-nya adalah:
حد ثنا سليما ن بن داودالعتكيّ ا خبر نا حمّا دُ ا خبر نا ايّوب عن نا فع عن بن عمر قال: قال ر سو ل ا لله صلى ا لله  عليه وسلم : أ شهر تسع و عشرو ن فلا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله ثلا ثين
5)      Dalam Sunan Nas’i,  matan dan sanad-nya adalah:
أخبر نا محمّد ابن سلمة ولحا رث بن مسكين قرأة عليه و أنا أسمع واللّفظ له , عن مالك عن نا فع عن بن عمر  
أن ر سو ل ا لله صلى ا لله  عليهوسلم ذ كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
6)      Dalam Musnad Imam Ahmad, matan dan sanadnya adalah:
حد ثنا عبدالله . حدثنى أبي , حد ثنا عبدالرّحمن حد ثنا ما لك نا فع عن بن عمر عنهما عن النبي صلى ا لله  عليهوسلم ذ كر رمضا ن فقا ل: لا تصو موا حتى ترا ى ا لهلا ل و لا تفطروا ت و ه فا ن عليكم فاقدرواقدرله
                   Apabila diperhatikan redaksi dari matan Hadits-hadits yang dikutip diatas, terdapat  perbedaan antara hadis yang satu dengan yang lain. Pada riwayat Malik yang berasal dari Nafi’ terdapat kata dzakara ramadhan, sebelum perkataan Rasulullah saw. La tashumu, sedangkan pada riwayatnya yang lain yang berasal dari Abd Allah Ibn Dinar, tidak terdapat kata-kata tersebut, tetapi terdapat tambahan kata syahritsun wa isyrun, pada riwayat Bukhari sebagaimana berasal dari jalur Abd Allah ibn Dinar menggunakan kata fa akhmilu al-iddat tsalasin, sebagaimana juga pada riwayat Abu daud didapati kata tsalatsin. Perbedaan redaksi diatas menunjukan adanya periwayatan secara makna, yaitu meskipun redaksinya berbeda, tetapi mempunyai makna yang sama dan bahkan saling mempertegas antara satu dengan yang lain.    
      b.      Al-i’tibar
       Dari enam riwayat Hadits tentang melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan tersebut, selanjutnya di i’tibar dengan cara  mengkombinasikan sanad yang satu dan yang lainnya, sehingga terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad Hadits yang diteliti, demikian juga dengan seluruh perawinya dengan metode periwayatannya. Dengan melakukan i’tibar tersebut dapat diketahui apakah dalam Hadits tersebut ada unsur mutabi’ atau syahid pada hadis tersebut atau tidak.
    c.      Terjemah ­al-ruwat dan naqd al-sanad
        Cakupan bahasan pada sub ini dicukupkan hanya pada sanad Malik, yaitu Hadits yang datang dari Abd Allah ibn Umar melalui Nafi’ dan Abd Allah Ibnu Dinar. Karena itu uaraian tentang al-ruwat akan terbatas pada Abd Allah ibn Umar, Nafi’ Abd Allah Ibnu Dinar, dan malik sendiri sebagai perawi terakhir, sampai pada ibn Umar sebgai perawi pertama.
1)      Malik Ibnu Anas
Nama lengkapnya adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amr ibn Al-Harits ibn Utsman ibn Jutsail ibn Amr ibn Al-Harits. Malik berguru dan menerima hadis dari banyak ulama, yang diperkirakan mencapai jumlah 900 orang. Diantara para gurunya adalah Amr ibn Abd Allah ibn al-Zubair ibn al-Awwan, Naim ibn Abd Allah al-majmar, Zaid ibn Aslam, Nafi’ maula ibn Umar, Abd Allah ibn Dinar, dll.
      Mengenai pribadi Malik, para kritikus hadis berpendapat sebagai berikut:
a)  Muhammad ibn Ishaq berkata, “Ketika Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari ditanya tentang Ashahh al-Asanid, Al-Bukhari mengatakan, Ashah al-Asanid adalah Malik dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar”.
b)   Ali ibn al-Madini berkata, dari sumber Ibn Uyainah, Malik adalah orang yang paling teliti, dan kritis terhadap para perawi hadis serta sangat mengetahui tentang keadaan mereka.
c)  Berkata Ali, “saya tidak mengetahui bahwa malik meninggalkan beberapa perawi, kecuali mereka yang memiliki sesuatu yang cacat pada riwayat mereka.
d)     Abd Allah ibn Ahmad mengatakan, “aku bertanya kepada ayahku, siapakah yang paling terpercaya diantara sahabat Azzuhri? Ayahku menjawab, Malik! Dia adalah yang paling terpercaya dalam segala hal.
e)   Ibn Sa’ad berkata, saya adalah orang yang paling ingat dengan waktu meninggalnya Malik, yaitu pada bulan Safar tahun 179 H, dan Malik adalah salah seorang yang tsaqit, terpercaya, wara’, faqih, alim, dan Hujjah.
     Dari komentar para kritikus tersebut, dapat disimpulkan bahwa Malik adalah seorang yang terpercaya dan pernyataannya bahwa dirinya telah menerima riwayat Hadits dari Nafi’ dan Abd Allah Ibn Dinar hal ini dikarenakan sanadnya bersambung.
2)      Nafi’
   Nama lengkapnya adalah Nafi’ Abu ‘Abd Allah al-Madani, dan dialah Mawla ibn Umar. Dia meninggal dunia pada 177 H. Nafi’ berguru dan menerima Hadist dari sejumlah Ulama, diantaranya Abd Allah Ibn Umar sebagai maulanya Abu Hurairah, Abu Lubabah ibn Abd al-Mundzir, Abu Sa’id al-Khudri, A’isyah, dan lainnya. Pernyataan kritikus tentang diri Nafi’ diantaranya:
a) Ibn Sa’ad mengatakan, Nafi’ adalah seorang yang tsiqat dan banyak meriwayatkan Hadits. Al-Bukhari mengatakan Al-asanid adalah dari Malik dari Nafi’ dari ibn Umar.
b)   Berkata Bsyr ibn Amr dari Malik, “apabila aku mendengar sebuah Hadits dari Nafi’ dan ibn Umar maka aku tidak perlu mendengarnya dari yang lainnya”.
c)  Al-Ajali Madani, ibn Kharasy, dan Al-Nas’i mengatakan bahwa Nafi’ adalah seorang yang tsiqat.
    Dapat disimpulkan melalui para kritikus mengatakan perihal dengan Nafi’ adalah seorang yang tsiqat, bagian dari ashah al-asanid (yaitu Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar) dengan demikian pernyataan Nafi’ telah menerima riwayat hadis dari Abd Allah ibn Umar dapat dipercaya dan karenanya sanadnya bersambung.
3)      Abd Allah ibn Dinar
      Nama lengkapnya adalah Abd Allah ibn Dinar Al-Adawai Abu ‘Abd al-Rahman al-Madani Mawla Ibn Umar. Ibn Dinar meninggal pada tahun 127 H. Pernyataan para kritukus tentang dirinya adalah:
a)  Salih ibn Ahmad berkata: berdasarkan sumber dari Ayahnya, bahwa Abd Allah ibn Dinar adalah seorang yang tsiqat lagi benar hadisnya.
b)  Ibn Ma’in, Abu Zarah, Abu Hatim, Muhammad ibn Sa’ad, dan Nasa’I, berpendapat bahwa ibn Dinar adalah Tsiqat
c)    Al-Ajali mengatakan bahwa ibn Dinar adalah seoran yang tsiqat.
d)   Ibn Hibban mengelompokan ibn Dinar kedalam golongan orang-orang yang tsiqat.
  Berdasarkan pernyataan para kritikus Hadits diatas dapat disimpulkan bahwa Abd Allah Ibn Dinar adalah seorang yang tsiqat dan hadisnya dapat dipercaya. Justru itu pernytaannya bahwa dirinya telah menerima riwayat dari Ibn Umar adalah dapat dipercaya, dan karenya dapat pula dikatakan bahwa sanadnya tersambung.
4)      Abd Allah Ibn Umar
      Nama lengkapnya Abd Allah ibn Umar ibn al-khattab ibn Nufail al-Quraisyi al-Adawi Abu Abd al-Rahman al-Maki. Dia lahir tidak lama setelah Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul. Berdasarkan sumber dari Al-Zubair, bahwa ketika itu ibn Umar berusia 10 tahun dan beliau meninggal pada tahun 73 H. penrnyataan para kritikus mengenai dirinya adalah:
a)   Hafsah berkata, saya mendengar Rsulullah saw. Bersabda, sesungguhnya Abd Allah Ibn Umar adalah seorang yang saleh.
b)  Zuhri berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kecerdasannya
c)  Ibn Zabar menerangkan, “dia (ibn Umar) adalah seorang yang paling tsabit.
 Para kritikus telah memberikan penilaian yang baik kepada ibn Umar, bahkan Rasulullah mengatakan Ibn Umar adalah seorang yang Saleh. Oleh karena itu kita dapat mempercayai pernyataan yang menyatakan beliau menerima riwayat Hadits dari Raslullah. Dengan demikian sanadnya bersambung.   
       d.      Natijah (hukm al-hadits)
        Uraian mengenai sanad Hadits tentang ketentuan memulai dan mengakhiri puasa dengan melihat bulan, yang di takhrij oleh Malik di atas, menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut:
1)    Dari segi kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para perawinya terlihat bahwa seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis terseut adalah tsiqat.
2)    Dari segi hokum periwayatan, maka seluruh sanad hadis tersebut adalah bersambung.
3)  Dari segi mata rantai sanad , maka rantai periwayatan Malik, Nafi’, dan Ibn Umar, dinyatakan sebagai ashah al-asanid. (rangkaian sanad paling tinggi)
4)  Dari segi lambang-lambang periwayatan, hadis diatas tergolong yang diperselisihkan tentang kebersambungan sanadnya oleh para ulama hadis.
5)  Sanad Malik ibn Anas juga didapati pada sanad Al-Bukhari dan Muslim, yang keduanya telah diakui oleh para ulama hadis sebagai dua kitab shahih.
        Dengan catatan tersebut dapat disimpulkan bahwa, sanad hadits yang di takhrij oleh Malik diatas, hukumnya adalah shahih lidzatani.
    e.       Syarh (fiqh) al-hadits
            Kewajiban ibadah puasa Ramadhan adalah merupakan salah satu rukun Islam yang lima, dan Al-Qur’an, pada QS Al-Baqrah: 183, secara tegas telah menyatakan kewajiban tersebut, sebagaimana kewajiban yang sama telah ditetapkan Allah kepada umat sebelumnya. Untuk memulai pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, Al-Qur’an telah menetapkan adanya kesaksian tentang telah datangya bulan Ramadhan, sebagaimana dalam Q.S Al-Baqrah: 185.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
 فَلْيَصُمْهُ..........                                                                                        
Rasulullah saw, dalam kepastiannya sebagai penjelasan yang lebih rinci mengenai tata cara pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, yang diantaranya adalah tentang keharuasan melihat hilal bulan Ramadhan untuk memulai ibadah puasa, sebagaimana tersebut diriwayatkan oleh Malik diatas.

3.         Model-model Takhrij Hadits
M. Syuhudi Ismail dalam Zainul Arifin, mengemukakan bahwa model takhrij hadits ada dua macam, yakni takhrij alhadits bi al-lafzi dan takhrij al-hadits bi al-mawdu’. Berikut ini dijelaskan sepintas tentang dua macam model takhrij al-hadits yang dimaksud:
1) Model  takhrij alhadits bi al-lafzi
          Untuk penelusuran hadits lewat metode ini cukup mengambil sebagian lafaz dari matan hadits yang akan diteliti baik dalam bentuk fi’il maupun isim, kemudian mencari lafaz tersebut pada kamus hadits yang menjadi rujukan metode ini
Kitab-kitab yang diperlukan untuk metode takhrij ini, selain diperlukan kitab kamus hadits, juga diperlukan kitab-kitab yang menjadi rujukan dari kamus itu. Kamus hadits yang dimaksud adalah al-Mujam al-Mufahras. Penyusunan hadits dalam kitab ini disusun mulai dari al-af’al al-mujaradah berdasarkan huruf al-mu’jam, kemudian ismu al-fa’il, ismu al-maf’ul dan se terusnya.
Selanjutnya, setelah lafaz-lafaz itu, ada petunjuk bahwa lafaz tersebut tetdapat dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan kamus ini lengkap dengan petunjuk kitab, juz dan bab, bahkan halamannya pada hadits yang dimaksud. Sedangkan kitab-kitab hadits yang menjadi rujukannya adalah Kutub al-Tis'ah.
Kelebihan pada metode ini antara lain, a) Dapat cepat mendapatkan hasil takhrij, b) Dalam kitab Mu'jam al-Mufahras menyebutkan hadits-hadits dimaksud lengkap dengan petunjuk nama kitab, bab, halaman, dan juznya, memudahkan dalam pencarian hadits; dan c) Dengan satu lafaz saja dari matan hadits yang dibutuhkan bisa dengan mudah mengetahui letak hadits yang dimaksud.
Kekurangannya adalah kitab Mujam al-Mufahras yang menjadi rujukan metode ini hanya terbatas pada Kutub al-Tis'ah, sehingga jika hadits yang diteliti tidak ada dalam Kutub al-Tis’ah, maka akan gagal dalam mentakhrij hadits yang dimaksud, sehingga perlu dengan metode lain. Contoh takhrij hadits, misalnya hadits dari Anas bin Malik:
“La yu’minu ahadukum hatta yuhibbu li akhihi ma yuhibbu li nafsihi”
Kalimat yang diambil misalnya (yuhibbu) lafal tersebut dikembalikan ke fi’il al-madi mujarrad yaitu بح, yaitu ح dan ب , ternyata lafal tersebut ada di Mujam al-Mufabras juz pertama halaman 405. Dan matan hadits tersebut ditemukan di halaman 407, tertulis dalam halaman tersebut bahwa hadits dimaksud terdapat dibeberapa kitab, antan lain:
      a)      Sahih Muslim, Kitab al-Iman, No hadits 71, 72.
      b)      Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, No. Hadits 7
      c)      Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Qiyamah, No. Hadits 59.
      d)     Sunan Nasa’i, Kitab al-Imam, No. Hadits 19.
      e)      Sunan Ibn Majah, Muqadimah, No. hadits 9.
      f)       Sunan al-Darimi, Kitab Isti’dhan, No. hadits 5.
      g)      Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 1 hal. 89; Juz 3 hal. 176, 206, 251.
2) Model  takhrij al-hadits bi al-mawdu’
Model ini berdasarkan topik permasalahan, misalnya hadits yang akan diteliti hadits tentang kawin mut’ah. Untuk menelusurinya diperlukan bantuan kamus hadits yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai riwayat tentang topik tersebut. Kitab-kitab yang diperlukan urrtuk metode ini adalah kamus Miftah Kunuz al Sunnah karya A.J. Wensink dan 14 kitab lainnya dan yang menjadi rujukan kamus tersebut adalah kutub al-Tis’ah ditambah lagi dengan kitab Musnad Zaid bin ‘Ali, Musnad Abu Daud al Toyalisi, Tobaqat ibnu Sa'ad, Sirah ibnu Hisyam dan Magazi al Waqidi.
Kelebihan dalam metode ini adalah jika peneliti tahu topik permasalahan dalam haditsnya maka bisa langsung membuka pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan model ini pada bab topik tersebut. Sedangkan kekurangannya adalah jika peneliti kurang faham atau masih samar akan permasalahan dalam haditsnya maka akan menemukan kesulitan dalam mentakhrijnya. Contoh takhrij hadits melalui metode ini, misalnya hadits dari Abu Hurairah:
Man sarrah an yubsath lahu rizquhu, au yunsa alahu fi atsarihi falyashil rahimahu.
Hadits tersebut topiknya adalah (al-Arham), terdapat dalam beberapa kitab; 1) Sahih al-Bukhari, kitab no. 78, bab no. 12; 2) Sahih Muslim, kitab no. 45 hadits no.16-22; 3) Sunan al-Tirmidhi, kitab no.25, bab no.9 dan 49; dan 4) Musnad Ahmad bin Hanbal, juz2 hal.189, 484. Juz 3 ha1.156, 229, 247.
Dengan melihat tata cara pentakhijan Hadits seperti tadi, kalau untuk zaman sekarang yang serba modern, dalam men-takhrij Hadits lebih praktis lagi jika menggunakan perangkat komputer melalui bantuan program Maktabab al Shamilah, Kutub al-Tis'ah atau lainnya yang didalamnya mencakup seluruh kitab-kitab hadits dan ilmunya, hal mendasar yang harus diketahui oleh seseorang adalah menguasai Hadits-hadits yang tipelajari olehnya.
C.  Penutup
1.      Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a)    Takhrij berasal dari kata (خرج) yang berarti tampak atau jelas, sedangkan secara terminology takhrij menurut para ahli Hadits berarti bagaimana seseorang menyebutkan dalam kitab karangannya suatu Hadits dengan sanadnya sendiri. Menurut pendapat lain takhrij dalam kalimat berarti mengembalikan suatu hadits kepada ulama yang menyebutkannya dalam suatu kitab dengan memberikan penjelasan kriteria-kriteria hukumnya.
b)     Langkah dalam melakukan takrij itu meliputi: Takhrij Hadits, Al-I’tibar, al-ruwat dan naqd al-sanad, Natijah (Hukum Al-Hadits), Syarh.
c)      Model-model dalam melakukan dalam melakukan takhrij hadits terbagi ke dalam dua model yakni model takhrij takhrij alhadits bi al-lafzi dan takhrij alhadits bi al-maudu’.

Daftar Rujukan

Abdul Mahdi. Abu Muhammad, Metode Takhrij Hadis, cet, I; Semarang; PT Dina Utama Semarang, 1994.

Amin. Kamarudin, Menguji Kembali Kekauratan, Metode kriktik Hadis, Cet, I; Jakarta: PT Mizan Publika, 2009.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: CV Penerbit Jumanatul ‘Ali-Art, 2005.

Jurnal Online Metodologi Tarjih Muhammadiyah, Edisi 1, No. 1, 2012 (PSIF-UMM), dirujuk pada, 5 April, 2015.

Sahrani. Sohari, Ulumul Hadis, cet, I; Bogor: PT Ghalia Indonesia, 2010.
Syuhudi Ismail, M. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007.