Kamis, 07 Januari 2016

BANI UMAYYAH

BANI UMAYYAH
Sistem Monarchi, Arabisasi, Ekspansi Politik dan Perkembangan Ilmu/Sains

Oleh: Ichromsyah Arrochman
Mahasiswa Magister Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Periode 2014/2015


A.       PENDAHULUAN
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Bangsa yang tidak pernah menoleh ke belakang, atau tidak mau mempertimbangkan masa lampau, tidak akan dapat mencapai tujuan. Karena sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tidak saja menggambarkan realitas dan kenangan-kenangan indah, tetapi juga menyuguhkan kebenaran peristiwa yang bisa dijadikan pedoman hidup bagi masa kini dan masa yang akan datang. Dengan kata lain, sejarah adalah guru bagi kehidupan (magistra vitae) anak bangsa yang sarat nilai, bukan tanpa nilai sama sekali.[1]
Membahas tentang sejarah Bani Umayyah tentunya tidak dapat dipisahkan dari seorang tokoh Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan keturunan ketiga dari Umayyah Ibn ‘Abd Sham yang juga disebut dengan Bani Umayyah, dan juga kebijakan-kebijakan politik di masa khulafaur rhasidin. Seperti dijelaskan oleh beberapa tokoh seperti Fakhri,bahwa,  Mu’awiyah merupakan tokoh yang memeiliki kepribadian menarik, lemah lembut, cakap dalam mengatur siasat, bijaksana, kapasitas intelektual yang tinggi, dan juga fasih dalam berbicara. Karir politiknya mulai terlihat pada masa khalifah Abu Bakar yang ditandai dengan keterlibatannya sebagai militer. Kemudian di masa khalifah Umar, ia diangkat sebagai Gubernur di Damaskus. Beriringan dengan kepemerintahannya di damaskus, wilayah kekuasaannya bertambah luas ketika khalifah ‘Usman bekuasa, karena seluruh wilayah Syam berada dalam pengawasannya.[2]
Ambisi Mu’awiyah untuk menjadi orang nomor satu di dunia Islam ditengarahi ketika kekhalifahan sudah di tangan Ali ibn Abi Thalib, yang mana dalam kepemimpinannya, Ali banyak memutuskan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan suhu perpolitikan semakin kisruh, ditambah dengan terbunuhnya khalifah ‘Usman, sehingga dimana-mana terjadi pemberontakan, seperti perang Jamal dan perang Shiffin.[3]
Peralihan kekuasaan kepemimpinan umat Islam dari khalifah Ali bin Abi Thalib ke Mu’awiyah tidak sama dengan khalifah-khalifah sebelumnya yang berlangsung secara damai, tertib dan demokratis. Peralihan kekuasaan dari Ali ke Mu’awiyah diwarnai dengan peperangan (Perang Shiffin) yang awalnya kemenangan hampir berpihak kepada Ali, namun dengan tipu siasat Mu’awiyah yang mengajak Ali untuk berdamai dan membuat kesepakatan bahwa untuk memilih pemimpin diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Perundingan itu ditandai dengan proses tahkhim, yang senyatanya itu hanya dijadikan siasat Mu’awiyah untuk menjadi seorang pemimpin.[4]
Dari sinilah pemerintahan Mu’awiayah ibn Abi Shofyan dimulai dengan bebagai corak baru sistem kepemerintahannya (sistem kerajaan atau sistem monarki), yang sekaligus mengawali munculnya secara terang-terangan kekeuasaan Dinasti Umayyah sebagai generasi kekhalifahan setelah khulafaur rhasidin.[5]
Dalam makalah ini, akan mengulas sedikit tentang peradaban islam pada masa Dinasti Umayyah, yang bahasannya meliputi: Sistem monarchi, arabisasi, ekspansi politik dan perkembangan ilmu/ sain era Bani Umayyah.

B.      PEMBAHASAN
Sistem monarchi, Arabisasi, dan politik di Era Bani Umayyah
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Umayyah ( Umawiyah ) menjadi dua, yaitu pertama, Dinasti Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khalifah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki) dan kedua, Dinasti Umayah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah dibawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid ibn Abd Al-malik.[6]
Daulah umawiah Timur merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M). Fase ini bukan saja menunjukkan perubahan sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya ( masa Nabi dan khulafaurrasidin ), melainkan juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial dan peradaban. Ciri menonjol yang di tampilkan dinasti ini, antara lain pemindahan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus: kepemimpinan dikuasai militer Arab dari lapisan bangsawan, dan ekspansi kekuasaan Islam yang lebih meluas yaitu pada masa kekuasaan Islam terbentang sejak dari spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai kebatasan Tiongkok. Dengan demikian, selama periode ini berlangsung langkah-langkah baru untuk merekonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan menerapkan faham golongan bersama dengan elit pemerintah. Kekuasaan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis.[7]
Diatas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya Muawiah adalah seorang pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat. Di dalam dirinya terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus, dan administrator.[8]
Mu’awiyah berhasil menddirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali. Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “Basis Rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.[9]
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk suriah yang lama diperintah oleh muawiyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih,dan disiplin digaris depan dalam peperangan melawan Romawi. Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Ketiga, Muawiayah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah pada zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti muawiah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.[10]
Muawiah melaksanakan perubahan-perubahan besar dan menonjol didalam pemerintahan negeri itu. Angkatan daratnya kuat dan efisien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang Siria yang taat dan setia. Yang tetap berdiri disampingnya dalam keadaan yang paling berbahaya sekalipun. Dengan bantuan orang-orang Siria yang setia, Muawiah berusaha mendirikan pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem untuk pertama kali digunakannya.[11]
Masa kekuasaan Daulah umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun,  yang ibu kota pemerintahaanya di Damaskus, dan diperintah oleh 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiah bin Abi Sufyan, sedang khalifah yang terakhir adalah Marwan Bin Muhammad. Adapun urutan khalifah Umayyah adalah sebagai berikut.[12]
1.         Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-60H/661-679M)
2.         Yazid I bin Muawiyah (60-64H/679-683M)
3.         Muawiyah II bin Yazid (64H/683M)
4.         Marwan I bin Hakam (64-65H/683-684M)
5.         Abdul Malik bin Marwan (65-86H/684-705M)
6.         Al-Walid I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M)
7.         Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/714-717M)
8.         Umar bin Abdul Aziz (99-101H/717-719M)
9.         Yazid II bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)
10.     Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/723-742M)
11.     Al-Walid II bin Yazid II (125-126H/742-743M)
12.     Yazid bin Walid bin Malik (126H/743M)
13.     Ibrahim bin Al-Walid II (126-127H/743-744M)
14.     Marwan II bin Muhammad (127-123H/744-750M)
Dilihat dari perkembangan kepemimpinan ke 14 khalifah tersebut, maka periode Bani umayyah dapat dibagi menjadi tiga masa: Permulaan, perkembangan/kejaan, dan keruntuhan. Masa permulaan ditandai dengan usaha-usaha Muawiah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan orientasi kekuasaan: pembunuhan terhadap Husain ibn Ali, perampasan kota Madinah, penyerbuan kota Makkah pada masa Yazid I, dan perselisihan diantara suku-suku Arab pada masa Muawiyah II.[13]
Kejaan Bani Umayyah dimulai pada masa pemerintahan Abdul Malik. Dia dianggap sebagai pendiri Daulah Bani Umayyah kedua, kerena mampu mencegah disintegrasi yang telah terjadi sejak masa Marwan. Sebagai seorang ahli tata negara dan administrator ulung, Abdul Malik berhasil menyempurnakan administrasi pemerintahan Bani Umayyah. Masa penggantinya, Walid I, merupakan periode kemenangan, kemakmuran dan kejaan. Negara Islam meluas ke daerah barat timur, beban masyarakat mulai ringan, pembangunan kota dan pendirian gedung-gedungumum seperti mesjid perkantoran mendapat perhatian yang cukup serius.[14]
Kejayaan Bani Umayyah berakhir pada masa pemerintahan Umar ibn abdul aziz (Umar II). Dia terpelajar dan taat beragama, dia juga merupakan pelopor penyebaran agama Islam pemerintahantahan ortodox yaitu pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Akan tetapi pemerintahannya hanya bertahan selama 2 tahun 5 bulan. Sepeninggalnya Umar II kekhalifahan melemah dan akhirnya hancur. Para khalifah pengganti umar II selalu mengorbankan kepentingan umum untuk kesenangan pribadi. Perselisihan antara para putera mahkota, serta perselisihan antara para pemimpin daerah merupakan sebab-sebab keruntuhan bani Umayyah. Pada tahun 750 M pertempuran terakhir antara pasukan abbasiah yang dipimpin oleh abu muslim al- Khurasani dan pasukan Mu’awiah terjadi di Irak. Tidak lama kemudian Damaskus jatuh ke tangan kekuasaan Bani abbas.[15]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayyah lemah dan membanya kepada kehancuran, antara lain :[16]
    1.      System pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan pada aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas, sehingga terjadi persaingan tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
    2.      Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik yang terjadi di masa Ali, golongan syi’ah dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, dan penumpasannya banyak menyedot kekuatan pemerintah.
    3.      Pertentangan etnisantar suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makinmeruncing, sehingga sulit untuk menggalang persatuan dan kesatuan.Disamping itu golongan mawali(non Arab) tidak  puas dengan statusnya yang dinomer duakan, ditambah keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan padamasa Bani Umayyah.d.Sikap hidup mewah di lingkungan istana menjadikan anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan ketika mereka mewarisi kekuasaan, dan masyarakat  banyak kecewa dengan hal itu. Penyebab langsung tergulingnya dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru dari keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, golongan syi’ah dan kaum mawali.
Arabisasi kerajaan dibawah kepemimpinan ‘Abd al-Malik dan al-Walid
meliputi perubahan bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi
publik (diwan) dari bahasa yunani ke dalam bahasa Arab di Damaskus, dan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arabdi Irak dan propinsi bagian Timut, serta penerbitan uang logam Arab. Perubahan bahasa secara otomatis menyebabkan perubahan struktur kepegawaian.
Pada 695, Abd al-Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Disamping membuat uang emas Islam, dan melakukan Arabisasi administrasi kerajaan, abd Malik juga mengembangkan sistem layanan pos, dengan menggunakan kuda antara danaskus dan ibu kota propinsi lainnya. Perubahan bahasa secara otomatis menyebab perubahab struktur kepegawaian. Di Suriah, para penakluk terdahulu, yang merupakan keturunan murni padang pasir yang tidak mengenal tata buku dan keuangan, harus bersedia menyerahkan jabatan keuanganya kepada pegawai yang mampu menulis dalam bahasa Yunani, sementara di Irak dan Persia, jabatan tersebut diserahkan kepadaorang yang mampu menulis bahasa Persia. Namun kini situasinya berubah. Tidak di ragukan lagi, pejabat-pejabat non Arab yang telah menguasai bahasa Arab dipertahankan,seperti halnya sistem lama.[17]
Bani Umayah selalu berusaha untuk meningkatkan derajat bangsa Arab sebagai bangsa  penguasa di antara bangsa lain yang dikuasai. Kefanatikan itu terlihat dari dijadikannya bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara pada masa khalifah Abd al-Malik ibn Marwan. Sehingga semua  peritah dan peraturan secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab dipelajari orang, sehingga muncul ilmu qowaid, nahwu, sharafdan ilmu lain yang mempelajari bahasa Arab.[18]
Pada masa dinasti Umayyahini, Abu Aswad ad-Duali (w. 681 M) menyusun gramatika Arab dengan member titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak bertitik.Usaha ini mempunyai arti yang besar dalam pengembangan dan perluasan bahasa Arab, serta mempermudah orang untuk membaca, mempelajari, memahaminya.[19]
Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan bahsa Arab digunakan sebagai bahasa administrasi negara. Dengan penggunaan bahasa Arab yang makin luas, dibutuhkan suatu panduan kebahasaan yang dapat dipergunakan oleh semua golongan. Hal itu mendorong lahirnya seorang bahasawan yang bernama Sibawaih, Ia mengarang buku yang berisi pokok-pokok kaidah bahasa Arab yang berjudul Al Kitab.[20]
Bidang Kesusasteraan, ditandai dengan munculnya sastrawan – sastrawan:[21]
            1.      Qays bin Mulawwah (Laila Majnun)
            2.      Jamil al Uzri
            3.      Al Akhtal
            4.      Umar bin Abu Rabiah
            5.      Al Farazdaq
            6.      Ibnu al Muqaffa
Pada masa kekuasaaan Bani Umayah, terjadilah perubahan sosial yang sangat dramatis dalam tubuh masyarakat Islam.Orang-orang Arab (pendatang) mulai berasimilasi dan bersosialisasi dengan pribumi karena kelompok sosial ini semakin hari semakin bercampur.Pada saat yang bersamaan, penduduk asli (pribumi) pun kemudian merasa butuh dan berkepentingan untuk mempelajari bahasa Arab.Alasan mereka setidaknya untuk dapat saling mengerti dan memahami dalam komunikasi dengan orang-orang Arab yang bahasanya masih asing bagi mereka.Maka, terbentuklah persatuan dua kelompok yang masing-masing memiliki perbedaan bahasa, budaya dan kelas sosial.
Penduduk Mesir yang tadinya berbahasa koptik Mesir, mulai mempelajari --secara langsung-- bahasa Arab. Demikian juga penduduk Syam dan sebagian Irak yang berbicara dengan bahasa Aramia, penduduk Maroko dan Afrika Utara yang menggunakan bahasa Barbar, penduduk Iran dan sebagian Irak yang menggunakan bahasa Iran (persi), semua mengalami masa-masa terjadinya sosialisasi bahasa Arab.[22]
Pada saat itu, berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa Arab yang fasih ( Arab standar) menunjukkan ketinggian martabat sosial dan kelas tersendiri di masyarakat. Oleh karenanya, kalangan pejabat dan penguasa pada saat itu berkepentingan mendidik keturunan mereka dengan bahasa yang memungkinkan mereka mudah meraih kursi kekuasaan.Tidak cukup dengan itu, mereka pun mengirim anak-anak dan generasi-generasi mereka ke wilayah yang dihuni masyarakat Badui di Hijaz.Anak-anak mereka sengaja dikirim ke Badui untuk mempelajari dan mendalami bahasa Arab yang masih bersih. Maka jelaslah, bahwa sejak sepertiga akhir abad pertama Hijriyah, bahasa Arab sudah mencapai dan menduduki posisi sedemikian tinggi, terhormat dan sangat kuat di wilayah-wilayah yang menjadikan Islam sebagai agama resmi. Pada masa Daulah Umayah inilah proses "Arabisasi" berjalan lancar melalui penyebaran Islam.[23]
Pada masa ini pula ditata rapi administrasi professional dan dengan sendirinya bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara Islam.Orang-orang pribumi yang ingin bekerja di pemerintahan disyaratkan untuk fasih berbahasa Arab, dan ini merupakan langkah positif yang cukup massif.Tapi satu hal yang tidak bisa dilewatkan, adalah bahwa antusiasme mereka mempelajari bahasa Arab adalah karena dorongan agama Islam yang baru saja mereka peluk, secara tidak memaksa memotivasi mereka untuk mendalami al-Quran dan hadits yang berbahasa Arab.Dalam tingkat perkembangan selanjutnya, bahasa Arab memasuki masa-masa pertarungan yang sangat sulit dengan bahasa-bahasa asli yang sudah hadir di daerah-daerah yang memeluk Islam itu.Pertarungan itu berlangsung lama dan tidak selesai dalam satu generasi. Setelah hampir dua abad berlangsung, bahasa Arab menghirup udara tenang karena ia sudah menjadi bahasa dominan di seluruh pelosok daerah yang sudah dimasuki bahasa Arab.[24]
Beberapa abad setelah itu, pertarungan pun berakhir, bahasa Arab berhasil mendesak, bahkan menggantikan bahasa Persia, Aramia, Barbar, Yunani, Koptik di negeri-negeri yang ditaklukan oleh Islam. Namun demikian, perkembangan ini tidak berjalan mulus.Percampuran yang tidak terbendung dari dua kelompok (pendatang dan pribumi) ini tidak bisa menghindarkan perkawinan di antara anggota kelompok yang berbeda ini.Generasi-generasi yang lahir dari perkawinan ini ternyata kurang menguasai bahasa Arab dengan baik.Hal ini ditambah dengan mengendurnya semangat berbahasa Arab di lingkungan keluarga pejabat/penguasa.Hal inilah yang kemudian mengundang keprihatinan tokoh-tokoh intelektual muda untuk melakukan gerakan pemurnian bahasa Arab.Tokoh-tokoh intelektual muda itu merupakan kolaborasi Arab-Non Arab.Salah satu peran besar yang diukir pemerintahan Bani Umayyah, lewat gerakan ini adalah penggunaan bahasa Arab sebagai media bahasa karang mengarang (karya tulis).[25]
Banyak buku-buku berkualitas tinggi dengan kedalaman ilmu yang luar biasa berhasil diterbitkan pada masa itu.Padahal, sebelum Bani Umayah berkuasa, bahasa Arab hanya digunakan sebatas untuk syair dan peribahasa (Amtsal) selain dalam al-Quran. Ibnu Muqaffa, (wafat 142 H) adalah salah seorang ulama terkemuka yang termasuk pertama kali menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa karang mengarang dalam buku-buku yang ia tulis. Dengan demikian, penggunaan bahasa Arab memasuki babak baru, yakni dunia pustaka karena bahasa Arab tidak lagi hanya sebatas bahasa syir. Bidang ilmu lainnya yang lahir, tumbuh dan berkembang pada masa Daulah Umayyah adalah ilmu Arudh yang dibadani oleh Khalil bin Ahmad, di tangan beliaulah lahir wazan-wazan syair Arab semisal, Thawil, Khofif, Rajaz, Basith, Kamil dan lain-lain. Dalam hal ini ilmu semantik yang menjadi bagian ilmu bahasa mulai berkembang.[26]

Perkembangan Ilmu / Sains di era Bani Umayyah
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan “disekolahkan” ke badiyah, gurun suriah, untuk mempelajari bahasa arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanala Mu’awiah mengirim putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid. Masyarakat luas memandang orang yang dapat membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, dan pandai berenang sebagai seorang tepelajar.[27]
Setelah masa Abd al-Malik, seorang guru (mu’addib) biasanya seorang mantan budak dan beragama kristen merupakan figur penting istana. Guru para putra khalifah ini menerima perintah dari ayah murid-muridnya agar, “mengajar mereka berenang dan membiasakan mereka untuk tidak tidur.[28]
Menurut Jurji Zaidan ( George Zaidan ) beberapa kemajuan dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut.[29]
1.        Perkembangan Bahasa Arab
Para penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai daulah (negara), kemudian dikuatkannya da di kembangkanlah bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam.
2.        Marbad kota Pusat Kegiatan Imu
Kota Marbadinilah berkumpul para pujangga, filusuf, ulama, penyair, dan cendekiawan lainnya.
3.        Ilmu Qiraat
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni bacaan alqur’an, yang telah di bina sejak khulafaarrasidin, kemudian di kembangkan sehingga memjadi cabang ilmu syariat yang sangat penting.
4.        Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir untuk memahami al qur’an sebagai kitab suci diperlukan interpretasi pemahaman secara komprehensif. Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama yang membukukan ilmu tafsir yaitu Mujahid (w.104 H)
5.        Ilmu Hadis
Ketika kaum muslimin telahberusaha memahami Al qur’an, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang di sebut hadis. Diantara para ahli hadis yang termasyhur pada masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w.159 H), Hasan Basri (w.110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), Asya’bi Abu Amru Amir bin syurahbil (w.104 H)
6.        Ilmu Fiqh
Al qur’an adalah dasar fiqh islam, dan pada zaman ini ilmu fiqh telah menjadi satu cabang ilmusyariat yang berdiri sendiri. Diantara ahli fiqh terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu bakar bin Abdurrahman.
7.        Ilmu Nahwu
Pada masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang Ajam (non Arab) yang masuk Isalam
8.        Ilmu Jughrafi dan Tarikh
Jughrafi dan tarikh pada masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu tarikh (ilmu sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya.
9.        Usaha Penerjemahan
Untuk ke pentingan pembinaan dakwah islamiah, pada masa Dinasti Umayyah di mulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab.maka diterjemahkan buku-buku tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika, kedokteran, dan lain-lain
Demikianlah berbagai kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Umayyah yang telah berkembang pesat sebagai embrio perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman Dinasti Abbasiah.[30]
  
C.      PENUTUP
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.


DAFTAR PUSTAKA

http://aeena56.blogspot.com/2012/09/sejarah-merupakan-salah-satu-bagian.html
http://pba.iaic.ac.id/?cPub=jurnal&cName=sejarah-perkembangan-bahasa-arab
http://upikabu-abidin.blogspot.com/2012/09/dinasti-umayyah-berdirinya-dan.html 19.50,21/102014
Abdurahman, Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah, Jogjakarta: A-ruzz, 2007
K.Hitti, Philip,History of The Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010
Maryam, Siti, Sejarah Peradaban Islam,Jogjakarta: Lesfi, 2002
Munir Amin,Samsul,Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008
Yatim,Badri,Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002








[1]  Dudung Abdurahman,Metodologi Penelitian Sejarah, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2007)
[2]  http://upikabu-abidin.blogspot.com/2012/09/dinasti-umayyah-berdirinya-dan.html ,19.50,21/102014
[3]  Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6]  Dedi supriadi, Sejarah peradaban islam,(Bandung:Pustaka setia,2008),hal.103
[7]  Siti Maryam,Sejarah Peradaban Islam,(Jogjakarta,Lesfi,2002),hal. 67
[8]  Samsul Munir arifin,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta:Hamzah,2010),hal.118-120
[9]  Ibid,hal.119
[10]  Ibid ,hal.120
[11]  Dedi Supriadi,opcit, hal.105
[12]  Samsul Munir Arifin,Opcit,hal.121
[13]  Siti Maryam, Opcit,hal.69
[14] Ibid,hal.69
[15]  Ibid, hal.70
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002,cet. III), hal.. 48-49
[17]  Philip K.hitti, History of the Arabs,(Jakarta:PT serambi ilmu semesta,2010),hal.270
[18]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004, cet. II), hal. 43
[19]Samsul Munir Amin,Opcit, hal. 132
[20]http://aeena56.blogspot.com/2012/09/sejarah-merupakan-salah-satu-bagian.html
[21]Ibid.
[22] http://pba.iaic.ac.id/?cPub=jurnal&cName=sejarah-perkembangan-bahasa-arab
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Ibid.
[27] Philip K. Hitti,Opcit,hal.316
[28]  Ibid, hal.317
[29]  Samsul Munir Amir,Opcit,hal.133
[30]  Ibid, hal.136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar