BANI
UMAYYAH
Sistem Monarchi, Arabisasi,
Ekspansi Politik dan Perkembangan Ilmu/Sains
Oleh: Ichromsyah
Arrochman
Mahasiswa Magister Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Periode 2014/2015
A. PENDAHULUAN
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah.
Bangsa yang tidak pernah menoleh ke belakang, atau tidak mau mempertimbangkan
masa lampau, tidak akan dapat mencapai tujuan. Karena sejarah merupakan saksi
sekaligus bukti yang tidak saja menggambarkan realitas dan kenangan-kenangan
indah, tetapi juga menyuguhkan kebenaran peristiwa yang bisa dijadikan pedoman
hidup bagi masa kini dan masa yang akan datang. Dengan kata lain, sejarah adalah
guru bagi kehidupan (magistra vitae) anak bangsa yang sarat nilai, bukan tanpa
nilai sama sekali.[1]
Membahas tentang sejarah Bani
Umayyah tentunya tidak dapat dipisahkan dari seorang tokoh Mu’awiyah Ibn Abi
Sofyan keturunan ketiga dari Umayyah Ibn ‘Abd Sham yang juga disebut dengan
Bani Umayyah, dan juga kebijakan-kebijakan politik di masa khulafaur rhasidin.
Seperti dijelaskan oleh beberapa tokoh seperti Fakhri,bahwa, Mu’awiyah merupakan tokoh yang memeiliki
kepribadian menarik, lemah lembut, cakap dalam mengatur siasat, bijaksana,
kapasitas intelektual yang tinggi, dan juga fasih dalam berbicara. Karir
politiknya mulai terlihat pada masa khalifah Abu Bakar yang ditandai dengan
keterlibatannya sebagai militer. Kemudian di masa khalifah Umar, ia diangkat
sebagai Gubernur di Damaskus. Beriringan dengan kepemerintahannya di damaskus,
wilayah kekuasaannya bertambah luas ketika khalifah ‘Usman bekuasa, karena
seluruh wilayah Syam berada dalam pengawasannya.[2]
Ambisi Mu’awiyah untuk menjadi
orang nomor satu di dunia Islam ditengarahi ketika kekhalifahan sudah di tangan
Ali ibn Abi Thalib, yang mana dalam kepemimpinannya, Ali banyak memutuskan
kebijakan-kebijakan yang menyebabkan suhu perpolitikan semakin kisruh, ditambah
dengan terbunuhnya khalifah ‘Usman, sehingga dimana-mana terjadi pemberontakan,
seperti perang Jamal dan perang Shiffin.[3]
Peralihan kekuasaan kepemimpinan
umat Islam dari khalifah Ali bin Abi Thalib ke Mu’awiyah tidak sama dengan
khalifah-khalifah sebelumnya yang berlangsung secara damai, tertib dan
demokratis. Peralihan kekuasaan dari Ali ke Mu’awiyah diwarnai dengan
peperangan (Perang Shiffin) yang awalnya kemenangan hampir berpihak kepada Ali,
namun dengan tipu siasat Mu’awiyah yang mengajak Ali untuk berdamai dan membuat
kesepakatan bahwa untuk memilih pemimpin diserahkan sepenuhnya kepada rakyat.
Perundingan itu ditandai dengan proses tahkhim, yang senyatanya itu
hanya dijadikan siasat Mu’awiyah untuk menjadi seorang pemimpin.[4]
Dari sinilah pemerintahan Mu’awiayah ibn Abi Shofyan
dimulai dengan bebagai corak baru sistem kepemerintahannya (sistem kerajaan
atau sistem monarki), yang sekaligus mengawali munculnya secara terang-terangan
kekeuasaan Dinasti Umayyah sebagai generasi kekhalifahan setelah khulafaur
rhasidin.[5]
Dalam makalah ini, akan mengulas sedikit tentang
peradaban islam pada masa Dinasti Umayyah, yang bahasannya meliputi: Sistem
monarchi, arabisasi, ekspansi politik dan perkembangan ilmu/ sain era Bani
Umayyah.
Sistem monarchi,
Arabisasi, dan politik di Era Bani Umayyah
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Umayyah ( Umawiyah
) menjadi dua, yaitu pertama, Dinasti Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh
Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung
sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khalifah pada
sistem mamlakat (kerajaan atau monarki) dan kedua, Dinasti Umayah di Andalusia
(Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah dibawah pimpinan
seorang gubernur pada zaman Walid ibn Abd Al-malik.[6]
Daulah umawiah Timur merupakan fase ketiga kekuasaan
Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M). Fase ini
bukan saja menunjukkan perubahan sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (
masa Nabi dan khulafaurrasidin ), melainkan juga perubahan-perubahan lain di
bidang sosial dan peradaban. Ciri menonjol yang di tampilkan dinasti ini,
antara lain pemindahan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus:
kepemimpinan dikuasai militer Arab dari lapisan bangsawan, dan ekspansi kekuasaan
Islam yang lebih meluas yaitu pada masa kekuasaan Islam terbentang sejak dari
spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai kebatasan Tiongkok. Dengan
demikian, selama periode ini berlangsung langkah-langkah baru untuk
merekonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan menerapkan faham
golongan bersama dengan elit pemerintah. Kekuasaan Arab menjadi sebuah
sentralisasi monarkis.[7]
Diatas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan
prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya Muawiah adalah seorang
pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat. Di dalam dirinya
terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus, dan administrator.[8]
Mu’awiyah berhasil menddirikan Dinasti Umayyah bukan
hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali.
Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “Basis Rasional” yang solid
bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.[9]
Pertama, adalah
berupa dukungan yang kuat dari rakyat suriah dan dari keluarga Bani Umayyah
sendiri. Penduduk suriah yang lama diperintah oleh muawiyah mempunyai pasukan
yang kokoh, terlatih,dan disiplin digaris depan dalam peperangan melawan
Romawi. Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana
dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Ketiga,
Muawiayah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai
tingkat “hilm”, sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah pada
zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti muawiah dapat menguasai diri secara
mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan
dan intimidasi.[10]
Muawiah melaksanakan perubahan-perubahan besar dan
menonjol didalam pemerintahan negeri itu. Angkatan daratnya kuat dan efisien.
Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang Siria yang taat dan setia. Yang
tetap berdiri disampingnya dalam keadaan yang paling berbahaya sekalipun.
Dengan bantuan orang-orang Siria yang setia, Muawiah berusaha mendirikan
pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem untuk pertama
kali digunakannya.[11]
Masa kekuasaan Daulah umayyah hampir satu abad, tepatnya
selama 90 tahun, yang ibu kota
pemerintahaanya di Damaskus, dan diperintah oleh 14 orang khalifah. Khalifah
yang pertama adalah Muawiah bin Abi Sufyan, sedang khalifah yang terakhir
adalah Marwan Bin Muhammad. Adapun urutan khalifah Umayyah adalah sebagai
berikut.[12]
1.
Muawiyah
I bin Abi Sufyan (41-60H/661-679M)
2.
Yazid I
bin Muawiyah (60-64H/679-683M)
3.
Muawiyah
II bin Yazid (64H/683M)
4.
Marwan I
bin Hakam (64-65H/683-684M)
5.
Abdul
Malik bin Marwan (65-86H/684-705M)
6.
Al-Walid
I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M)
7.
Sulaiman
bin Abdul Malik (96-99H/714-717M)
8.
Umar bin
Abdul Aziz (99-101H/717-719M)
9.
Yazid II
bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)
10.
Hisyam
bin Abdul Malik (105-125H/723-742M)
11.
Al-Walid
II bin Yazid II (125-126H/742-743M)
12.
Yazid bin
Walid bin Malik (126H/743M)
13.
Ibrahim
bin Al-Walid II (126-127H/743-744M)
14.
Marwan II
bin Muhammad (127-123H/744-750M)
Dilihat dari perkembangan
kepemimpinan ke 14 khalifah tersebut, maka periode Bani umayyah dapat dibagi
menjadi tiga masa: Permulaan, perkembangan/kejaan, dan keruntuhan. Masa
permulaan ditandai dengan usaha-usaha Muawiah meletakkan dasar-dasar
pemerintahan dan orientasi kekuasaan: pembunuhan terhadap Husain ibn Ali,
perampasan kota Madinah, penyerbuan kota Makkah pada masa Yazid I, dan
perselisihan diantara suku-suku Arab pada masa Muawiyah II.[13]
Kejaan Bani Umayyah
dimulai pada masa pemerintahan Abdul Malik. Dia dianggap sebagai pendiri Daulah
Bani Umayyah kedua, kerena mampu mencegah disintegrasi yang telah terjadi sejak
masa Marwan. Sebagai seorang ahli tata negara dan administrator ulung, Abdul
Malik berhasil menyempurnakan administrasi pemerintahan Bani Umayyah. Masa
penggantinya, Walid I, merupakan periode kemenangan, kemakmuran dan kejaan.
Negara Islam meluas ke daerah barat timur, beban masyarakat mulai ringan,
pembangunan kota dan pendirian gedung-gedungumum seperti mesjid perkantoran
mendapat perhatian yang cukup serius.[14]
Kejayaan Bani Umayyah
berakhir pada masa pemerintahan Umar ibn abdul aziz (Umar II). Dia terpelajar
dan taat beragama, dia juga merupakan pelopor penyebaran agama Islam
pemerintahantahan ortodox yaitu pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Akan tetapi
pemerintahannya hanya bertahan selama 2 tahun 5 bulan. Sepeninggalnya Umar II
kekhalifahan melemah dan akhirnya hancur. Para khalifah pengganti umar II
selalu mengorbankan kepentingan umum untuk kesenangan pribadi. Perselisihan
antara para putera mahkota, serta perselisihan antara para pemimpin daerah
merupakan sebab-sebab keruntuhan bani Umayyah. Pada tahun 750 M pertempuran
terakhir antara pasukan abbasiah yang dipimpin oleh abu muslim al- Khurasani
dan pasukan Mu’awiah terjadi di Irak. Tidak lama kemudian Damaskus jatuh ke
tangan kekuasaan Bani abbas.[15]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayyah lemah dan
membanya kepada kehancuran, antara lain :[16]
1. System pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah
sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan pada aspek
senioritas. Pengaturannya tidak jelas, sehingga terjadi persaingan tidak sehat
di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar
belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik yang terjadi di masa Ali, golongan syi’ah dan Khawarij terus
menjadi gerakan oposisi, dan penumpasannya banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pertentangan etnisantar suku Arabia Utara (Bani Qays) dan
Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam
makinmeruncing, sehingga sulit untuk menggalang persatuan dan
kesatuan.Disamping itu golongan mawali(non Arab) tidak puas dengan
statusnya yang dinomer duakan, ditambah keangkuhan bangsa Arab yang
diperlihatkan padamasa Bani Umayyah.d.Sikap
hidup mewah di lingkungan istana menjadikan anak-anak khalifah tidak sanggup memikul
beban berat kenegaraan ketika mereka mewarisi kekuasaan, dan masyarakat
banyak kecewa dengan hal itu. Penyebab langsung tergulingnya dinasti
Umayyah adalah munculnya kekuatan baru dari keturunan
al-Abbas ibn Abd al-Muthalib yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, golongan
syi’ah dan kaum mawali.
Arabisasi
kerajaan dibawah kepemimpinan ‘Abd al-Malik dan al-Walid
meliputi
perubahan bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi
publik (diwan) dari bahasa yunani ke dalam bahasa
Arab di Damaskus, dan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arabdi Irak dan
propinsi bagian Timut, serta penerbitan uang logam Arab. Perubahan bahasa
secara otomatis menyebabkan perubahan struktur kepegawaian.
Pada 695, Abd al-Malik mencetak dinar emas dan dirham
perak yang murni hasil karya orang Arab. Disamping membuat uang emas Islam, dan
melakukan Arabisasi administrasi kerajaan, abd Malik juga mengembangkan sistem
layanan pos, dengan menggunakan kuda antara danaskus dan ibu kota propinsi
lainnya. Perubahan bahasa secara otomatis menyebab perubahab struktur
kepegawaian. Di Suriah, para penakluk terdahulu, yang merupakan keturunan murni
padang pasir yang tidak mengenal tata buku dan keuangan, harus bersedia
menyerahkan jabatan keuanganya kepada pegawai yang mampu menulis dalam bahasa
Yunani, sementara di Irak dan Persia, jabatan tersebut diserahkan kepadaorang
yang mampu menulis bahasa Persia. Namun kini situasinya berubah. Tidak di
ragukan lagi, pejabat-pejabat non Arab yang telah menguasai bahasa Arab
dipertahankan,seperti halnya sistem lama.[17]
Bani Umayah selalu
berusaha untuk meningkatkan derajat bangsa Arab sebagai bangsa penguasa
di antara bangsa lain yang dikuasai. Kefanatikan itu terlihat dari dijadikannya
bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara pada masa khalifah Abd al-Malik ibn Marwan.
Sehingga
semua peritah dan peraturan secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya
bahasa Arab dipelajari orang, sehingga muncul ilmu qowaid, nahwu, sharafdan
ilmu lain yang mempelajari bahasa Arab.[18]
Pada masa dinasti Umayyahini, Abu Aswad ad-Duali (w. 681 M)
menyusun gramatika Arab dengan member titik pada huruf-huruf hijaiyah yang
semula tidak bertitik.Usaha ini mempunyai arti yang besar dalam pengembangan
dan perluasan bahasa Arab, serta mempermudah orang untuk membaca, mempelajari,
memahaminya.[19]
Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan bahsa Arab
digunakan sebagai bahasa administrasi negara. Dengan penggunaan bahasa Arab
yang makin luas, dibutuhkan suatu panduan kebahasaan yang dapat dipergunakan
oleh semua golongan. Hal itu mendorong lahirnya seorang bahasawan yang bernama
Sibawaih, Ia mengarang buku yang berisi pokok-pokok kaidah bahasa Arab yang
berjudul Al Kitab.[20]
Bidang Kesusasteraan, ditandai dengan munculnya sastrawan –
sastrawan:[21]
1. Qays
bin Mulawwah (Laila Majnun)
2. Jamil
al Uzri
3. Al
Akhtal
4. Umar
bin Abu Rabiah
5. Al
Farazdaq
6. Ibnu
al Muqaffa
Pada masa kekuasaaan Bani Umayah, terjadilah
perubahan sosial yang sangat dramatis dalam tubuh masyarakat Islam.Orang-orang
Arab (pendatang) mulai berasimilasi dan bersosialisasi dengan pribumi karena
kelompok sosial ini semakin hari semakin bercampur.Pada saat yang bersamaan, penduduk asli (pribumi) pun kemudian merasa butuh
dan berkepentingan untuk mempelajari bahasa Arab.Alasan mereka setidaknya untuk
dapat saling mengerti dan memahami dalam komunikasi dengan orang-orang Arab
yang bahasanya masih asing bagi mereka.Maka, terbentuklah persatuan dua
kelompok yang masing-masing memiliki perbedaan bahasa, budaya dan kelas sosial.
Penduduk Mesir yang
tadinya berbahasa koptik Mesir, mulai mempelajari --secara langsung-- bahasa
Arab. Demikian juga penduduk Syam dan sebagian Irak yang berbicara dengan
bahasa Aramia, penduduk Maroko dan Afrika Utara yang menggunakan bahasa Barbar,
penduduk Iran dan sebagian Irak yang menggunakan bahasa Iran (persi), semua
mengalami masa-masa terjadinya sosialisasi bahasa Arab.[22]
Pada saat itu, berbicara dan berkomunikasi dengan
bahasa Arab yang fasih ( Arab standar) menunjukkan ketinggian martabat sosial
dan kelas tersendiri di masyarakat. Oleh karenanya, kalangan pejabat dan
penguasa pada saat itu berkepentingan mendidik keturunan mereka dengan bahasa
yang memungkinkan mereka mudah meraih kursi kekuasaan.Tidak cukup dengan itu,
mereka pun mengirim anak-anak dan generasi-generasi mereka ke wilayah yang
dihuni masyarakat Badui di Hijaz.Anak-anak mereka sengaja dikirim ke Badui
untuk mempelajari dan mendalami bahasa Arab yang masih bersih. Maka jelaslah,
bahwa sejak sepertiga akhir abad pertama Hijriyah, bahasa Arab sudah mencapai
dan menduduki posisi sedemikian tinggi, terhormat dan sangat kuat di
wilayah-wilayah yang menjadikan Islam sebagai agama resmi. Pada masa Daulah Umayah
inilah proses "Arabisasi" berjalan lancar melalui penyebaran Islam.[23]
Pada masa ini pula ditata rapi administrasi
professional dan dengan sendirinya bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara
Islam.Orang-orang pribumi yang ingin bekerja di pemerintahan disyaratkan untuk
fasih berbahasa Arab, dan ini merupakan langkah positif yang cukup massif.Tapi
satu hal yang tidak bisa dilewatkan, adalah bahwa antusiasme mereka mempelajari
bahasa Arab adalah karena dorongan agama Islam
yang baru saja mereka peluk, secara tidak memaksa memotivasi mereka untuk
mendalami al-Quran dan hadits yang berbahasa Arab.Dalam tingkat perkembangan
selanjutnya, bahasa Arab memasuki masa-masa pertarungan yang sangat sulit
dengan bahasa-bahasa asli yang sudah hadir di daerah-daerah yang memeluk Islam
itu.Pertarungan itu berlangsung lama dan tidak selesai dalam satu generasi.
Setelah hampir dua abad berlangsung, bahasa Arab menghirup udara tenang karena
ia sudah menjadi bahasa dominan di seluruh pelosok daerah yang sudah dimasuki
bahasa Arab.[24]
Beberapa abad setelah itu, pertarungan pun
berakhir, bahasa Arab berhasil mendesak, bahkan menggantikan bahasa Persia,
Aramia, Barbar, Yunani, Koptik di negeri-negeri yang ditaklukan oleh Islam.
Namun demikian, perkembangan ini tidak berjalan mulus.Percampuran yang tidak
terbendung dari dua kelompok (pendatang dan pribumi) ini tidak bisa
menghindarkan perkawinan di antara anggota kelompok yang berbeda
ini.Generasi-generasi yang lahir dari perkawinan ini ternyata kurang menguasai
bahasa Arab dengan baik.Hal ini ditambah dengan mengendurnya semangat berbahasa
Arab di lingkungan keluarga pejabat/penguasa.Hal inilah yang kemudian mengundang
keprihatinan tokoh-tokoh intelektual muda untuk melakukan gerakan pemurnian
bahasa Arab.Tokoh-tokoh intelektual muda itu merupakan kolaborasi Arab-Non
Arab.Salah satu peran besar yang diukir pemerintahan Bani Umayyah, lewat
gerakan ini adalah penggunaan bahasa Arab sebagai media bahasa karang mengarang
(karya tulis).[25]
Banyak buku-buku berkualitas tinggi dengan
kedalaman ilmu yang luar biasa berhasil diterbitkan pada masa itu.Padahal,
sebelum Bani Umayah berkuasa, bahasa Arab hanya digunakan sebatas untuk syair
dan peribahasa (Amtsal) selain dalam al-Quran. Ibnu Muqaffa, (wafat 142 H)
adalah salah seorang ulama terkemuka yang termasuk pertama kali menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa karang mengarang dalam buku-buku yang ia tulis.
Dengan demikian, penggunaan bahasa Arab memasuki babak baru, yakni dunia
pustaka karena bahasa Arab tidak lagi hanya sebatas bahasa syir. Bidang ilmu
lainnya yang lahir, tumbuh dan berkembang pada masa Daulah Umayyah adalah ilmu
Arudh yang dibadani oleh Khalil bin Ahmad, di tangan beliaulah lahir
wazan-wazan syair Arab semisal, Thawil, Khofif, Rajaz, Basith, Kamil dan
lain-lain. Dalam hal ini ilmu semantik yang menjadi bagian ilmu bahasa mulai
berkembang.[26]
Perkembangan Ilmu / Sains
di era Bani Umayyah
Pada periode Dinasti
Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah biasanya
akan “disekolahkan” ke badiyah, gurun suriah, untuk mempelajari bahasa
arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanala Mu’awiah mengirim putranya yang
kemudian menjadi penerusnya, Yazid. Masyarakat luas memandang orang yang dapat
membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, dan
pandai berenang sebagai seorang tepelajar.[27]
Setelah masa Abd al-Malik,
seorang guru (mu’addib) biasanya seorang mantan budak dan beragama kristen
merupakan figur penting istana. Guru para putra khalifah ini menerima perintah
dari ayah murid-muridnya agar, “mengajar mereka berenang dan membiasakan mereka
untuk tidak tidur.[28]
Menurut
Jurji Zaidan ( George Zaidan ) beberapa kemajuan dalam bidang perkembangan ilmu
pengetahuan antara lain sebagai berikut.[29]
1.
Perkembangan
Bahasa Arab
Para
penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai daulah (negara),
kemudian dikuatkannya da di kembangkanlah bahasa Arab dalam wilayah kerajaan
Islam.
2.
Marbad
kota Pusat Kegiatan Imu
Kota
Marbadinilah berkumpul para pujangga, filusuf, ulama, penyair, dan cendekiawan
lainnya.
3.
Ilmu
Qiraat
Ilmu
Qiraat adalah ilmu seni bacaan alqur’an, yang telah di bina sejak
khulafaarrasidin, kemudian di kembangkan sehingga memjadi cabang ilmu syariat
yang sangat penting.
4.
Ilmu
Tafsir
Ilmu
tafsir untuk memahami al qur’an sebagai kitab suci diperlukan interpretasi
pemahaman secara komprehensif. Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama yang
membukukan ilmu tafsir yaitu Mujahid (w.104 H)
5.
Ilmu
Hadis
Ketika
kaum muslimin telahberusaha memahami Al qur’an, ternyata ada satu hal yang juga
sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang di sebut hadis. Diantara
para ahli hadis yang termasyhur pada masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai
Abdurrahman bin Amru (w.159 H), Hasan Basri (w.110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H),
Asya’bi Abu Amru Amir bin syurahbil (w.104 H)
6.
Ilmu Fiqh
Al qur’an
adalah dasar fiqh islam, dan pada zaman ini ilmu fiqh telah menjadi satu cabang
ilmusyariat yang berdiri sendiri. Diantara ahli fiqh terkenal adalah Sa’ud bin
Musib, Abu bakar bin Abdurrahman.
7.
Ilmu
Nahwu
Pada masa
Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah
di luar Arab, maka ilmu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula
bertambahnya orang-orang Ajam (non Arab) yang masuk Isalam
8.
Ilmu
Jughrafi dan Tarikh
Jughrafi
dan tarikh pada masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri.
Demikian pula ilmu tarikh (ilmu sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah
islam pada khususnya.
9.
Usaha
Penerjemahan
Untuk ke
pentingan pembinaan dakwah islamiah, pada masa Dinasti Umayyah di mulai pula
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa
Arab.maka diterjemahkan buku-buku tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, ilmu
falak, ilmu fisika, kedokteran, dan lain-lain
Demikianlah berbagai kemajuan ilmu pengetahuan pada masa
dinasti Umayyah yang telah berkembang pesat sebagai embrio perkembangan ilmu
pengetahuan pada zaman Dinasti Abbasiah.[30]
C.
PENUTUP
Sistem pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, dimana ia
menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah
dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh
Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang
dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir
satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan
territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa,
pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang
administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan
dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan
angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan
sastra, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti
Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan
antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah
dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak
cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang
hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim,
kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.
DAFTAR PUSTAKA
http://aeena56.blogspot.com/2012/09/sejarah-merupakan-salah-satu-bagian.html
http://pba.iaic.ac.id/?cPub=jurnal&cName=sejarah-perkembangan-bahasa-arab
http://upikabu-abidin.blogspot.com/2012/09/dinasti-umayyah-berdirinya-dan.html
19.50,21/102014
Abdurahman, Dudung,
Metodologi Penelitian Sejarah, Jogjakarta: A-ruzz, 2007
K.Hitti, Philip,History of The Arabs,
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010
Maryam, Siti, Sejarah
Peradaban Islam,Jogjakarta: Lesfi, 2002
Munir Amin,Samsul,Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Amzah, 2009
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2008
Yatim,Badri,Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar