Kamis, 07 Januari 2016

PIAGAM MADINAH

PIAGAM MADINAH
Perjanjian Syamilah Pertama Di Dunia, Pada Awal Peradaban Islam

Oleh: Sa’diah

Mahasiswa Magister Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Periode 2014/2015


A.       PENDAHULUAN
Dalam Sejarah Peradaban Islam disebutkan bahwa umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M, yaitu setelah Nabi bersama 70 keluarga muslim melakukan hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yastrib. Kota Madinah setelah kedatangan Nabi Muhammad terbagai atas tiga golongan besar, yaitu golongan Muslim (terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri dari banyak suku kecil dan didominasi oleh dua suku besar yaitu suku „Aus dan Khazraj), golongan Yahudi (terdiri dari banyak suku , yang diantaranya terbesar adalah Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa)[1].
Disamping heterogen dari segi komposisi penduduknya, Madinah juga diwarnai peperangan antar suku. Peperangan antara suku ‘Aus dan Khazraj dalam memperebutkan kekuasaan dikota madinah. Meskipun keduanya pernah menjadi sekutu dalam memerangi orang-orang Yahudi yang menimbulkan kebencian diantara kaum yahudi dan kaum Arab[2].
Pada realitanya sering terjadi pengklaiman bahwa agama yang diyakininya adalah yang paling benar. Perdebatan ini mempertemukan dua agama ketauhidan (Islam dan Yahudi) dengan agama yang mempercayai  banyak Tuhan ( politeistik)[3]. Keadaan Madinah yang diwarnai pertikaian antar suku dan  perdebatan antar agama sudah mencapai puncaknya. Ditambah dengan Madinah pada status vacuum of power  yang berarti tidak adanya sebuah kekuasaan politik tunggal yang diakui oleh seluruh suku bangsa yang ada. Sehingga membuat masyarakat Madinah berada pada level paling atas dalam menginginkan kedamaian di kotanya. Hingga pada akhirnya masyarakat Islam dari Makkah datang ke Madinah pada tahun 622 M.[4]
Dengan diprakarsai oleh Rasulullah dan di dukung oleh semua golongan masyarakat, disepakatilah sebuah perjanjian  bersama yang bertujuan membangun masyarakat baru yang bernegara, menekankan kerja sama, persamaan antara hak dan kewajiban diantara semua golongan, baik dalam kehidupan sosial, politik, agama untuk mewujudkan pertahanan dan perdamaian di kota Madinah. Perjanjian inilah yang kemudian di kenal sebagai Piagam Madinah.[5]

B.      PEMBAHASAN
Isi Piagam Madinah Piagam Madinah atau terkadang di sebut juga sebagai konstitusi madinah seperti yang di ungkapkan oleh Montgomery Watt sebagai “The Constitution of Medina” merupakan dokumen politik penting yang dibuat oleh  Nabi Muhammad Saw sebagai perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Anshor, dan Yahudi, serta sekutunya. Dokumen ini mengandung prinsip-prinsip atau peraturan penting yang menjamin hak-hak dan menetapkan kewajiban-kewajiban sebagai dasar bagi kehidupan social politik Madinah. Terlepas dari polemik historitas penyusunan dan otentisitas naskahnya, Piagam Madinah yang digunakan adalah yang telah disistematisasi menjadi 47 pasal. Yaitu sebagai berikut:
Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
“Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad Saw. di kalangan Orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka”.
Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 2: Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, saling tanggung-menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) karena suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 3: a) Banu Auf (dari Yatsrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung-menanggung uang tebusan darah (diyat). b) Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 4: a) Banu Sa'idah (dari Yatsrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung menanggung uang tebusan mereka. b) Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 5: a) Banul-Harts (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. b) Setiap keluarga (thaifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang  beriman.
Pasal 6: a) Banu Jusyam (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. b) Setiap keluarga (thaifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 7: a) Banu Najjar (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) dengan secara baik dan adil. b) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang  beriman.
Pasal 8: a) Banu ‘Amrin (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. b) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang -orang beriman.
Pasal 9: a) Banu an-Nabiet (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. b) Setiap keluarga (thaifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang -orang beriman.
Pasal 10: a) Banu Aws (dari suku Yatsrib) berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka. a) Setiap keluarga (thaifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 11: Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalai-kan tanggung  jawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 12: Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat  persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa  persetujuan terlebih dahulu dari padanya.
Pasal 13: a) Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan, melanggar ketertiban, penipuan,  permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang  beriman. b) Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang  bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.
Pasal 14: a) Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang  beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman. b) Tidak  pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.
Pasal 15: a) Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah. b) Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan sesame mereka daripada (gangguan) manusia lain.
Pasal 16: Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan per-lindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasing-kan dari pergaulan umum.
Pasal 17: a) Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu. b) Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat  perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu  peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.
Pasal 18: Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.
Pasal 19: a) Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan. b) Setiap orang  beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat.
Pasal 20: a) Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak  beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui. b) Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.
Pasal 21: a) Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang ber-iman dengan cukup bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian (diyat). b) Segenap warga yang beriman harus  bulat bersatu mengutuk perbuatan itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.
Pasal 22: a) Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan memberikan tempat kediaman baginya. b) Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat- pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.
Pasal 23: Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad Saw.
Pasal 24: Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.
Pasal 25: a) Kaum Yahudi dari suku Auf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman. b) Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. c) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut- pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. d) Kecuali jika ada yang mengacau dan  berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.
Pasal 26: Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas. Pasal 27: Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas. 
Pasal 28: Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas. Pasal 29: Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas. Pasal 30: Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas.
Pasal 31: a) Kaum Yahudi dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi dari Banu ‘Auf di atas. b) Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa’labah. 
Pasal 33: a) Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas. b) Sikap yang baik harus dapat membendung segala  penyelewengan.
Pasal 34: Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa’labah.
Pasal 35: Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama seperti kaum Yahudi.
Pasal 36: a) Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Saw. b) Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan orang kepadanya. c) Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri. d) Tuhan melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini.
Pasal 37: a) Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul biaya Negara. b) Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini. c) Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa. d) Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat atau sekutunya. e) Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang atau golongan yang teraniaya.
Pasal 38: Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang beriman, selama peperangan masih terjadi.
Pasal 39: Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini.
Pasal 40: Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri-sendiri, tidak boleh diganggu ketentramannya, dan tidak diperlakukan salah.
Pasal 41: Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya.
Pasal 42: a) Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad Saw. b) Tuhan berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia kepadanya.
Pasal 43: Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang yang membantu mereka.
Pasal 44: Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yatsrib.
Pasal 45: a) Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai. b) Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang menunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam). c) Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu.
Pasal 46: a) Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (pendamaian) itu. b) Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan.
Pasal 47: a) Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya. b) Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya. c) Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dzalim dan bersalah. d) Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah aman. e) Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim dan  berbuat salah. f) Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada). g) Dan (akhirnya), Muhammad adalah Utusan Allah, semoga Allah mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya.

Piagam Madinah dan Prinsip Bernegara dalam Islam
Adanya kemajemukan masyarakat madinah yang tidak hanya didasarkan atas perbedaan agama dan keyakinan tetapi juga dalam hal etnis,  bangsa, asal daerah, kelas social serta adat kebiasaan. Hal ini yang menyebabkan tiap golongan memiliki corak pikir dan tindakan yang berbeda-beda sesuai dengan filosofi hidup dan kepentingannya. Factor-faktor ini pulalah yang tampaknya sering mengakibatkan mudahnya timbul konflik antar masyarakat Madinah. Tipe masyarakat yang demikian memerlukan penataan dan  pengendalian social-politik secaja bijaksana dengan adanya perundang-undangan sebagai pemersatu masyarakat yang bias diterima oleh berbagai pihak, yaitu atas dasar kemanusian[6].
Disamping Nabi Muhammad memiliki kedudukan sebagai seorang kepala Agama, beliau juga berperan sebagai kepala Negara. Dengan kata lain dalam diri Rasulullah terkumpul dua kekuasaan yantu kekuasaan spiritual (Agama) dan kekuasaan duniawi (Kepala Negara)[7].
Dalam situasi kota Madinah yang dihuni oleh berbagai jenis ras, agama, dan kebudayaan yang berbeda, Rasulullah melakukan penataan dan pengendalian social yang mengatur hubungan antara golongan-golangan tersebut dengan meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat.
Pertama, membangun masjid, selain untuk tempat beribadah, juga sebagai sarana mempersatukan umat muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping itu masjid juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan sekaligus menjadi pusat pemerintahan.
Kedua, adalah Ukhwah Islamiyah,  persodaraan sesama muslim. Tegasanya Nabi mempersodarakan umat muslim dari Makkah ( Muhajirin) dan umat muslim pribumi (Anshor). Dengan demikian diharapkan setiap muslim merasakan suatu persaudaraan dan kekeluargaan diantara mereka. Dan
ketiga, menjalin hubungan persaudaraan dengan pihak lain diluar orang-orang muslim agar stabilitas social kemasyarakatan dapat diwujudkan di Madinah. Terjaliannya hubungan antaran umat Islam dan golongan masyarakat Madinah yang lain tercetus dalam sebuah perjanjian yang disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah[8].
Dalam Piagam Madinah tersebut terdapat 47 pasal yang mengikat seluruh warga Madinah baik yang muslim ataupun nonmuslim sebagaimana diuraikan di atas. Menurut Dr. AJ Wensinck dalam bukunya Mohammaden de Yoden le Medina (1928) yang dikutip oleh Waytimah dalam tulisannya  berjdul Naskah Piagam Madinah, berpendapat bahwa Dari empat puluh tujuh pasal tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sebelas bab sebagaimana  berikut[9]:
1.                  Muqaddimah terdapat pada pembukaan Piagam Madinah
2.                  Pembentukan Ummat terdapat pada pasal 1
3.                  Hak Asasi Manusia terdapat pada pasal 2-10
4.                  Persatuan Seagama terdapat pada pasal 11-15
5.                  Persatuan Warganegara terdapat pada pasal 16-23
6.                  Golongan Minoritas terdapat pada pasal 24-35
7.                  Tugas Warga Negara terdapat pada pasal 36-38
8.                  Melindungi Negara terdapat pada pasal 39-41
9.                  Pimpinan Negara terdapat pada pasal 42-44
10.              Politik Perdamaian terdapat pada pasal 45-4
11.               Penutup terdapat pada pasal 47

Dalam membahas tentang pokok atau prinsip-prinsip substansial yang terefleksikan secara tegas dalam naskah Piagam Madinah tersebut para ahli  berbeda pendapat dalam merumuskannya. Seperti Azyumardi Azra yang membagi kedalam 11 poin, Ajid Thohir membaginya kedalam 14 poin, Muhammad Kholid merumuskannya ke dalam 8 poin, sedangkan Zainal Abidin merumuskannya ke dalam 10 poin. Namun dari ke ragaman rumusan tersebut secara singkat dapat di tarik poin-poin umum bahwa prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan kehidupan demokratis untuk segala zaman adalah sebagai  berikut :
1.    Al-Ikho (Persaudaraan)
Al-Ikho (Persaudaraan) merupakan salah satu asas penting masyarakat Islam yang diletakkan Rasulullah. Banyak ayat maupun hadits yang mengajarkan  bahwa persaudaraan adalah hal yang penting dalam kehidupan, dan  perwaudaraan yang hakiki itu adalah persaudaraan seiman dan seagama. Bangsa Arab yang sebelumnya lebih menonjolkan identitas kesukuannya, setelah memeluk agama yang di bawa Nabi Muhammad diganti dengan indentitas baru yaitu Islam. Maka atas dasar inilah Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin sebagai kaum pendatang dan Anshor sebagai kaum pribumi Madinah. Selain itu terdapat beberapa ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk memperat tali persaudaraan diantara muslim, seperti dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 dan 75 serta Q.S. Ar-Rad ayat 21.
2.    Al-Musawamah (Persamaan)
Rasulullah dengan tegas mengajarkan bahwa seluruh manusia adalah keturunan Adam yang diciptakan Tuhan dari tanah. Seorang Arab tidak lebih mulia dari golongan di luarnya kecuali karena ketaqwaannya. Ajaran ini memperjelas firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13. Berdasarkan asas ini setiap warga masyarakat memiliki hak kemerdekaan dan kebebasan atau al-hurriyah. Oleh sebab itu, Rasulullah sangat memuji dan menganjurkan para sahabatnya untuk memerdekakan hamba-hamba sahaya yang dimiliki oleh bangsawan-bangsawan Quraisy.
3.    At-Tasamuh (Toleransi)
At-Tasamuh atau Toleransi sebagai asas masyarakat Islam dibuktikan antara lain dengan adanya Piagam Madinah. Umat Islam siap berdampingan secara  baik dengan umat di luar Islam. Mereka (umat diluar Islam) mendapat  perlindungan dari Negara dan bebas melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Asas ini tentu selaras dengan firman Allah dalam surat Al-Kafirun ayat 6, surat Al-Baqarah ayat 256 dan surat Yunus ayat 99. Akan tetapi, toleransi yang diberikan umat Islam itu direspon oleh mereka dengan sikap  pengkhianatan terhadap piagam yang disepakati bersama tersebut. Mereka mencoba mengusik keimanan kaum Muslim dan bersekongkol dengan kaum Quraisy untuk mencelakakan Nabi. Maka satu per satu kabilah-kabilah Yahudi itu di usir dari madinah.
4.    Musyawarah (Demokrasi)
Kendatipun Rasulullah mempunyai status yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat, acapkali beliau meminta pendapat para sahabat dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan urusan dunia dan social budaya. Manakala argumentasi sahabat itu dianggap benar, tidak jarang beliau mengikuti pendapat mereka. Asas ini selaras dengan firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 159 dan Q.S. al-Syura ayat 38.
5.    Al-Mu’awanah (Tolong-menolong)
Dalam berbuat kebajikan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebaimana diisyaratkan dalam surta al-Maidah ayat 2 dan al-Hasyr ayat 9. Tolong menolong sesama muslim, antara lain telah ditunjukan dalam bentuk persaudaraan antara Anshor dan Muhajirin, sedangkan dengan pihak di luar Islam, Piagam Madinah adalah salah satu bukti pebuatan tolong menolong.
6.    Al-Adalah (Keadilan)
Al-adalah (keadilan) berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan posisi masing-masing. Di satu sisi seseorang hendaknya memperoleh haknya, sementara pada sisi yang lain ia berkewajiban memberikan hak orang lain kepada yang berhak menerimanya. Prinsip ini berpedoman pada surat al-Maidah ayat 8 dan Surat an-Nisa ayat 58.

C.      KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas mengenai Piagam Madinah, dapat kita simpulkan bahwasannya :
1.   Piagama Madinah sebuah ikatan perjanjian yang dilakukan oleh Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi
2.    Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad bukan hanya seorang Nabi dan Rasul, tetapi beliau juga seorang ahli  politik yang bijak
3.   Piagam Madinah sebagai norma yang mengatur manusia dan masyarakat dalam hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan.
4.  Nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar kehidupan demokratis yang tersirat dalam Piagam Madinah antara lain; Al-Ikho (Persaudaraan), Al-Musawwamah (Persamaan), Al-Tasamuh (Toleransi), Musyawarah (Demokrasi), Al-Muawanah (Tolong-menolong), dan Al-Adalah (Keadilan).


DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Istinah, Sejarah Peradaban Islam Untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum, UIN-Malang Press, Malang, 2008
Nurhakim, Moh, Sejarah dan Peradaban Islam, UMM Press, Malang, 2004
Abdu Lathif, Abdu Syafi Muhammad,  Buhuts fii al-Syirah An-Nabawi Wat-Tarikh Al-Islam, Dar al-Salam, Kairo, 2008
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar- akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004
Waytimah, Naskah Piagam Madinah, Von Edison Alouisci, 2012
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. PT Raja Grafindo Persada. 2008
Azra, Azyumardi, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam : Bingkai Gagasan yang  Berserak, Penerbit Nuansa, Bandung 2005
Mansur,  Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Global Pustaka Utama, Yogyakarta. 2004.


[1] Dr. Abdu Syafi Muhammad Abdu Lathif, Buhuts fii al-Syirah An-Nabawi Wat-Tarikh  Al-Islam, Dar al-salam, Kairo, 2008, hal 65
[2]  Istinah Abubakar, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam Untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum, UIN-Malang Press, Malang, 2008, hal 18
[3] Azyumardi Azra,  Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam : Bingkai Gagasan yang Berserak, Penerbit Nuansa, Bandung 2005, hal 98
[4] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, UMM Press, Malang, 2004, hal 26
[5] Ajid Thohir,  Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004, hal 17
[6] Drs. Mansur, M.A. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Global Pustaka Utama, Yogyakarta. 2004. Hal 22
[7] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam. PT Raja Grafindo Persada. 2008. Hal 25
[8] Dr. Badri Yatim, M.A. Ibid hal 26-27
[9] Waytimah, Naskah Piagam Madinah, Von Edison Alouisci, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar