PIAGAM MADINAH
Perjanjian Syamilah Pertama Di Dunia,
Pada Awal Peradaban Islam
Oleh: Sa’diah
Mahasiswa
Magister Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang Periode 2014/2015
A.
PENDAHULUAN
Dalam Sejarah Peradaban Islam disebutkan bahwa umat
Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M,
yaitu setelah Nabi bersama 70 keluarga muslim melakukan hijrah ke Madinah, kota
yang sebelumnya disebut Yastrib. Kota Madinah setelah kedatangan Nabi Muhammad
terbagai atas tiga golongan besar, yaitu golongan Muslim (terdiri dari kaum
Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri dari banyak suku kecil dan didominasi
oleh dua suku besar yaitu suku „Aus dan Khazraj), golongan Yahudi (terdiri dari
banyak suku , yang diantaranya terbesar adalah Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan
Bani Qainuqa)[1].
Disamping heterogen dari segi komposisi penduduknya,
Madinah juga diwarnai peperangan antar suku. Peperangan antara suku ‘Aus dan
Khazraj dalam memperebutkan kekuasaan dikota madinah. Meskipun keduanya pernah
menjadi sekutu dalam memerangi orang-orang Yahudi yang menimbulkan kebencian
diantara kaum yahudi dan kaum Arab[2].
Pada realitanya sering terjadi pengklaiman bahwa agama
yang diyakininya adalah yang paling benar. Perdebatan ini mempertemukan dua
agama ketauhidan (Islam dan Yahudi) dengan agama yang mempercayai banyak
Tuhan ( politeistik)[3]. Keadaan
Madinah yang diwarnai pertikaian antar suku dan perdebatan antar agama
sudah mencapai puncaknya. Ditambah dengan Madinah pada status vacuum of power yang berarti
tidak adanya sebuah kekuasaan politik tunggal yang diakui oleh seluruh suku
bangsa yang ada. Sehingga membuat masyarakat Madinah berada pada level paling
atas dalam menginginkan kedamaian di kotanya. Hingga pada akhirnya masyarakat
Islam dari Makkah datang ke Madinah pada tahun 622 M.[4]
Dengan diprakarsai oleh Rasulullah dan di dukung oleh
semua golongan masyarakat, disepakatilah sebuah perjanjian bersama yang
bertujuan membangun masyarakat baru yang bernegara, menekankan kerja sama,
persamaan antara hak dan kewajiban diantara semua golongan, baik dalam
kehidupan sosial, politik, agama untuk mewujudkan pertahanan dan perdamaian di
kota Madinah. Perjanjian inilah yang kemudian di kenal sebagai Piagam Madinah.[5]
B.
PEMBAHASAN
Isi Piagam Madinah Piagam Madinah atau terkadang di
sebut juga sebagai konstitusi madinah seperti yang di ungkapkan oleh Montgomery Watt sebagai “The Constitution
of Medina” merupakan dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi
Muhammad Saw sebagai perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Anshor, dan Yahudi, serta sekutunya. Dokumen ini
mengandung prinsip-prinsip atau peraturan penting yang menjamin hak-hak dan
menetapkan kewajiban-kewajiban sebagai dasar bagi kehidupan social politik
Madinah. Terlepas dari polemik historitas penyusunan dan otentisitas naskahnya,
Piagam Madinah yang digunakan adalah yang telah disistematisasi menjadi 47
pasal. Yaitu sebagai berikut:
Dengan
nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
“Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad Saw. di
kalangan Orang-orang yang beriman dan memeluk Islam
(yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka,
mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka”.
Pasal
1: Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan
kekuasaan) manusia.
Pasal
2: Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, saling
tanggung-menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat)
karena suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang
beriman.
Pasal
3: a) Banu ‘Auf
(dari Yatsrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung-menanggung uang
tebusan darah (diyat). b) Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan
uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal
4: a) Banu Sa'idah (dari Yatsrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung
menanggung uang tebusan mereka. b) Dan setiap keluarga dari mereka membayar
bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal
5: a) Banul-Harts (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka. b) Setiap keluarga (tha’ifah)
dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang
beriman.
Pasal
6: a) Banu Jusyam (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka. b) Setiap keluarga (tha’ifah)
dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang
beriman.
Pasal
7: a) Banu Najjar (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) dengan
secara baik dan adil. b) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar
tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang beriman.
Pasal
8: a) Banu ‘Amrin (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka. b) Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan
dengan secara baik dan adil di kalangan orang -orang beriman.
Pasal
9: a) Banu an-Nabiet (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak
asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka. b) Setiap keluarga (tha’ifah)
dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang -orang
beriman.
Pasal
10: a) Banu Aws (dari suku Yatsrib) berpegang atas hak-hak asli mereka,
tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka. a) Setiap keluarga (tha’ifah)
dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang
beriman.
Pasal
11: Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalai-kan tanggung
jawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena
membayar uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang
beriman.
Pasal
12: Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat
persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa
persetujuan terlebih dahulu dari padanya.
Pasal
13: a) Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang
yang berbuat kesalahan, melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau
pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman. b) Kebulatan
persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang
satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.
Pasal
14: a) Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang
beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman. b) Tidak
pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk
melawan seorang yang beriman lainnya.
Pasal
15: a) Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang
lemah. b) Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan
sesame mereka daripada (gangguan) manusia lain.
Pasal
16: Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita,
berhak mendapatkan bantuan dan per-lindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan
tidak boleh diasing-kan dari pergaulan umum.
Pasal
17: a) Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu. b) Tidak diperkenankan
segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut
sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan,
kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.
Pasal
18: Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan
terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.
Pasal
19: a) Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas
tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan. b) Setiap orang beriman
yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat.
Pasal
20: a) Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman
(musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui. b)
Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.
Pasal
21: a) Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang ber-iman dengan cukup bukti
atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga
yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian
(diyat). b) Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk
perbuatan itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.
Pasal
22: a) Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya
kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan
memberikan tempat kediaman baginya. b) Siapa yang memberikan bantuan atau
memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat- pengkhianat negara atau
orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari
kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.
Pasal
23: Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka
kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad Saw.
Pasal
24: Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum
beriman, selama negara dalam peperangan.
Pasal
25: a) Kaum Yahudi dari suku ‘Auf
adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman. b) Kaum Yahudi
bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.
c) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut- pengikut/sekutu-sekutu mereka,
dan diri mereka sendiri. d) Kecuali jika ada yang mengacau dan berbuat
kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.
Pasal
26: Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu
‘Auf di atas. Pasal 27: Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama
seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas.
Pasal
28: Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu
‘Auf di atas. Pasal 29: Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama
seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas. Pasal 30: Kaum Yahudi dari Banu
Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di atas.
Pasal
31: a) Kaum Yahudi dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi
dari Banu ‘Auf di atas. b) Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan,
maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.
Pasal
32: Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa’labah,
diperlakukan sama seperti Banu Tsa’labah.
Pasal
33: a) Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Auf di
atas. b) Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.
Pasal
34: Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama
seperti Banu Tsa’labah.
Pasal
35: Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama
seperti kaum Yahudi.
Pasal 36:
a) Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad
Saw. b) Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan
orang kepadanya. c) Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu
menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri. d) Tuhan
melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini.
Pasal
37: a) Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul
biaya Negara. b) Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin
pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta
dari piagam ini. c) Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati
dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa. d) Seorang warga negara
tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat atau
sekutunya. e) Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang
atau golongan yang teraniaya.
Pasal
38: Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang
beriman, selama peperangan masih terjadi.
Pasal
39: Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar
kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini.
Pasal
40: Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai
diri-sendiri, tidak boleh diganggu ketentramannya, dan tidak diperlakukan
salah.
Pasal
41: Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya,
melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya.
Pasal
42: a) Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau
terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan
penyelesaiannya menurut (hukum) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad
Saw. b) Tuhan berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia
kepadanya.
Pasal
43: Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala
orang yang membantu mereka.
Pasal
44: Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk
menentang setiap agresor yang menyergap kota Yatsrib.
Pasal
45: a) Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai
(treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai. b)
Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman
harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang menunjukkan permusuhan
terhadap agama (Islam). c) Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian
dari pihak mereka untuk perdamaian itu.
Pasal
46: a) Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan
mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk
kebaikan (pendamaian) itu. b) Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat
menghilangkan segala kesalahan.
Pasal
47: a) Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas
dirinya. b) Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini,
yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya. c) Sesungguhnya tidaklah
boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dzalim dan
bersalah. d) Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian
(keluar), adalah aman. e) Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali
orang-orang yang dhalim dan berbuat salah. f) Sesungguhnya Tuhan
melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada). g) Dan
(akhirnya), Muhammad adalah Utusan Allah, semoga Allah mencurahkan shalawat dan
kesejahteraan atasnya.
Piagam
Madinah dan Prinsip Bernegara dalam Islam
Adanya kemajemukan masyarakat
madinah yang tidak hanya didasarkan atas perbedaan agama dan keyakinan tetapi
juga dalam hal etnis, bangsa, asal
daerah, kelas social serta adat kebiasaan. Hal ini yang menyebabkan tiap golongan memiliki corak pikir dan tindakan
yang berbeda-beda sesuai dengan filosofi hidup dan kepentingannya.
Factor-faktor ini pulalah yang tampaknya sering mengakibatkan mudahnya timbul
konflik antar masyarakat Madinah. Tipe masyarakat yang demikian memerlukan
penataan dan pengendalian social-politik secaja bijaksana dengan
adanya perundang-undangan sebagai pemersatu
masyarakat yang bias diterima oleh berbagai pihak, yaitu atas dasar kemanusian[6].
Disamping Nabi Muhammad memiliki kedudukan sebagai seorang kepala Agama, beliau juga berperan sebagai
kepala Negara. Dengan kata lain dalam diri Rasulullah terkumpul dua
kekuasaan yantu kekuasaan spiritual (Agama)
dan kekuasaan duniawi (Kepala Negara)[7].
Dalam situasi kota Madinah yang dihuni oleh berbagai jenis ras, agama, dan kebudayaan yang berbeda,
Rasulullah melakukan penataan dan pengendalian social yang mengatur hubungan
antara golongan-golangan tersebut dengan meletakkan dasar-dasar kehidupan
bermasyarakat.
Pertama, membangun masjid, selain untuk tempat
beribadah, juga sebagai sarana mempersatukan umat muslimin dan mempertalikan
jiwa mereka, di samping itu masjid juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah
dan sekaligus menjadi pusat pemerintahan.
Kedua, adalah Ukhwah Islamiyah,
persodaraan sesama muslim. Tegasanya Nabi mempersodarakan umat muslim dari Makkah ( Muhajirin) dan umat muslim pribumi (Anshor). Dengan demikian diharapkan setiap muslim
merasakan suatu persaudaraan dan kekeluargaan diantara mereka. Dan
ketiga, menjalin hubungan persaudaraan dengan pihak lain
diluar orang-orang muslim agar stabilitas social kemasyarakatan dapat
diwujudkan di Madinah. Terjaliannya hubungan antaran umat Islam dan golongan
masyarakat Madinah yang lain tercetus dalam sebuah perjanjian yang disebut
sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah[8].
Dalam Piagam Madinah tersebut
terdapat 47 pasal yang mengikat seluruh warga Madinah baik yang muslim ataupun
nonmuslim sebagaimana diuraikan di atas.
Menurut Dr. AJ Wensinck dalam bukunya Mohammaden de Yoden le Medina (1928) yang
dikutip oleh Waytimah dalam tulisannya berjdul Naskah Piagam Madinah,
berpendapat bahwa Dari empat puluh tujuh
pasal tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sebelas bab sebagaimana berikut[9]:
1.
Muqaddimah terdapat pada pembukaan Piagam Madinah
2.
Pembentukan Ummat terdapat pada pasal 1
3.
Hak Asasi Manusia terdapat pada pasal 2-10
4.
Persatuan Seagama terdapat pada pasal 11-15
5.
Persatuan Warganegara terdapat pada pasal 16-23
6.
Golongan Minoritas terdapat pada pasal 24-35
7.
Tugas Warga Negara terdapat pada pasal 36-38
8.
Melindungi Negara terdapat pada pasal 39-41
9.
Pimpinan Negara terdapat pada pasal 42-44
10.
Politik Perdamaian terdapat pada pasal 45-4
11.
Penutup terdapat pada pasal 47
Dalam membahas tentang pokok atau
prinsip-prinsip substansial yang terefleksikan secara tegas dalam naskah Piagam
Madinah tersebut para ahli berbeda
pendapat dalam merumuskannya. Seperti Azyumardi Azra yang membagi kedalam 11 poin, Ajid Thohir membaginya
kedalam 14 poin, Muhammad Kholid merumuskannya ke dalam 8 poin, sedangkan
Zainal Abidin merumuskannya ke dalam 10 poin. Namun dari ke ragaman rumusan
tersebut secara singkat dapat di tarik poin-poin umum bahwa
prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan
kehidupan demokratis untuk segala zaman adalah sebagai berikut :
1.
Al-Ikho (Persaudaraan)
Al-Ikho (Persaudaraan) merupakan salah
satu asas penting masyarakat Islam yang diletakkan Rasulullah. Banyak ayat
maupun hadits yang mengajarkan bahwa
persaudaraan adalah hal yang penting dalam kehidupan, dan perwaudaraan
yang hakiki itu adalah persaudaraan seiman dan seagama. Bangsa Arab yang sebelumnya lebih menonjolkan identitas kesukuannya,
setelah memeluk agama yang di bawa Nabi Muhammad diganti dengan indentitas
baru yaitu Islam. Maka atas dasar inilah Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin sebagai kaum pendatang dan Anshor sebagai
kaum pribumi Madinah. Selain itu terdapat beberapa ayat Al-Qur‟an yang menganjurkan untuk memperat tali persaudaraan diantara muslim,
seperti dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 dan 75 serta Q.S. Ar-Ra‟d ayat 21.
2.
Al-Musawamah (Persamaan)
Rasulullah dengan tegas
mengajarkan bahwa seluruh manusia adalah keturunan Adam yang diciptakan Tuhan
dari tanah. Seorang Arab tidak lebih mulia dari golongan di luarnya kecuali
karena ketaqwaannya. Ajaran ini memperjelas firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 13. Berdasarkan asas ini setiap warga masyarakat memiliki hak kemerdekaan
dan kebebasan atau al-hurriyah. Oleh sebab itu, Rasulullah sangat memuji
dan menganjurkan para sahabatnya untuk
memerdekakan hamba-hamba sahaya yang dimiliki oleh bangsawan-bangsawan Quraisy.
3.
At-Tasamuh (Toleransi)
At-Tasamuh atau Toleransi sebagai asas
masyarakat Islam dibuktikan antara lain dengan adanya Piagam Madinah. Umat
Islam siap berdampingan secara baik
dengan umat di luar Islam. Mereka (umat diluar Islam) mendapat
perlindungan dari Negara dan bebas melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Asas ini tentu selaras dengan firman Allah
dalam surat Al-Kafirun ayat 6, surat Al-Baqarah ayat 256 dan surat Yunus
ayat 99. Akan tetapi, toleransi yang
diberikan umat Islam itu direspon oleh mereka dengan sikap pengkhianatan
terhadap piagam yang disepakati bersama tersebut. Mereka mencoba mengusik keimanan kaum Muslim dan
bersekongkol dengan kaum Quraisy untuk mencelakakan Nabi. Maka satu per satu
kabilah-kabilah Yahudi itu di usir dari madinah.
4.
Musyawarah (Demokrasi)
Kendatipun Rasulullah mempunyai status yang tinggi dan
terhormat dalam masyarakat, acapkali beliau
meminta pendapat para sahabat dalam menghadapi dan menyelesaikan
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan urusan dunia dan social
budaya. Manakala argumentasi sahabat itu dianggap benar, tidak jarang
beliau mengikuti pendapat mereka. Asas ini selaras dengan firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 159 dan Q.S.
al-Syura ayat 38.
5.
Al-Mu’awanah (Tolong-menolong)
Dalam berbuat kebajikan merupakan
kewajiban bagi setiap muslim, sebaimana diisyaratkan dalam surta al-Maidah ayat
2 dan al-Hasyr ayat 9. Tolong menolong sesama muslim, antara lain telah
ditunjukan dalam bentuk persaudaraan
antara Anshor dan Muhajirin, sedangkan dengan pihak di luar Islam, Piagam Madinah adalah salah satu bukti
pebuatan tolong menolong.
6.
Al-Adalah (Keadilan)
Al-adalah (keadilan) berkaitan dengan hak
dan kewajiban setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan
posisi masing-masing. Di satu sisi seseorang hendaknya memperoleh haknya,
sementara pada sisi yang lain ia berkewajiban memberikan hak
orang lain kepada yang berhak menerimanya. Prinsip ini berpedoman pada surat
al-Maidah ayat 8 dan Surat an-Nisa ayat 58.
C.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas mengenai Piagam Madinah, dapat kita simpulkan bahwasannya :
1. Piagama
Madinah sebuah ikatan perjanjian yang dilakukan oleh Islam dengan penduduk
Madinah yang beragama Yahudi
2. Piagam
Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad bukan hanya seorang Nabi dan Rasul,
tetapi beliau juga seorang ahli politik yang bijak
3. Piagam
Madinah sebagai norma yang mengatur manusia dan masyarakat dalam hal yang
berkaitan dengan kewarganegaraan.
4. Nilai-nilai
dan prinsip-prinsip dasar kehidupan demokratis yang tersirat dalam Piagam
Madinah antara lain; Al-Ikho (Persaudaraan), Al-Musawwamah (Persamaan),
Al-Tasamuh (Toleransi), Musyawarah (Demokrasi), Al-Mu‟awanah
(Tolong-menolong), dan Al-Adalah (Keadilan).
DAFTAR
PUSTAKA
Abubakar, Istinah, Sejarah Peradaban Islam Untuk
Perguruan Tinggi Islam dan Umum, UIN-Malang Press, Malang, 2008
Nurhakim, Moh, Sejarah dan Peradaban Islam, UMM
Press, Malang, 2004
Abdu Lathif, Abdu Syafi Muhammad,
Buhuts fii al-Syirah An-Nabawi Wat-Tarikh
Al-Islam, Dar al-Salam, Kairo, 2008
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam; Melacak Akar- akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat
Islam, PT Raja Grafindo Husada, Jakarta 2004
Waytimah, Naskah Piagam Madinah, Von
Edison Alouisci, 2012
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. PT Raja
Grafindo Persada. 2008
Azra, Azyumardi, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam
: Bingkai Gagasan yang Berserak, Penerbit Nuansa, Bandung 2005
Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan
Sejarah. Global Pustaka Utama, Yogyakarta. 2004.
[1] Dr. Abdu Syafi Muhammad Abdu Lathif, Buhuts fii
al-Syirah An-Nabawi Wat-Tarikh Al-Islam, Dar al-salam, Kairo, 2008, hal 65
[2] Istinah
Abubakar, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam Untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum, UIN-Malang Press, Malang,
2008, hal 18
[3] Azyumardi Azra,
Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam : Bingkai Gagasan yang
Berserak, Penerbit Nuansa, Bandung 2005, hal 98
[5] Ajid Thohir,
Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, PT Raja Grafindo
Husada, Jakarta 2004, hal 17
[6] Drs. Mansur, M.A. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Global Pustaka
Utama, Yogyakarta. 2004. Hal 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar